Pada saat hari pengumuman tiba, ternyata Ahmad dinyatakan tidak lulus. Ahmad merasa begitu kecewa, sedih dan menyalahkan diri sendiri karena menganggap persiapan yang dilakukan tidak cukup.
Ahmad mengurung diri dan tidak mau berinteraksi dengan siapapun kemudian mengalami stres berkepanjangan. Ahmad merasa bahwa ini adalah akhir dari segalanya.
Rekonstruksi diatas membuktikan kepada kita betapa bahayanya pemaknaan suatu peristiwa atau kejadian terhadap pilihan sikap untuk kelangsungan hidup seseorang.
Ahmad belum menyadari bahwa ketika akan mengikuti kontestasi, pilihan kemungkinannya hanya ada 2 yaitu lulus dan tidak lulus. Hal kedua yang belum disadari oleh Ahmad ialah dua kemungkinan itu awalnya bersifat netral artinya semua peserta juga akan memiliki peluang yang sama.
Sifat netral itu akan berubah seiring dengan makna apa yang kita berikan. Idealnya kemungkinan lulus ujian akan kita maknai dengan kebahagiaan, kebanggaan dan kesenangan. Sedangkan kemungkinan tidak lulus akan kita maknai dengan kekecewaan dan kesedihan.
Sampai disini kita bisa memahami bahwa "makna" terhadap peristiwa yang menjadi akar masalahnya. Bayangkan jika Ahmad memberikan makna kemungkinan tidak lulus ujian sebagai peluang untuk berkembang dan pelajaran untuk menguatkan, maka Ahmad tidak akan sedih atau kecewa.
Lebih dari itu, jika Ahmad meninggikan kesadaran bahwa ternyata selama proses akan mengikuti ujian, dirinya telah semakin rajin belajar, disiplin berlatih serta tekun beribadah, maka seharusnya Ahmad bersyukur atas hal-hal baik yang telah ia capai.
Rasa syukur akan menetralisir segala makna-makna negatif yang disematkan dalam kenyataan bahwa dirinya tidak lulus ujian.Â
Keberhasilan dan kegagalan dalam setiap perjalanan kehidupan adalah keniscayaan yang sudah pasti akan kita hadapi. Jadi mari kita memberikan makna baik di setiap kejadian dan menetralkan rasa dengan bersyukur.
Bagaimana cara kita bersyukur?
Sebuah pertanyaan besar kembali riuh dalam benak saya untuk memahami hakikat bersyukur.Â