"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya (azab-Ku) lebih pedih." (QS. Ibrahim: 7)
Dalam satu kisah diceritakan Aisyah RA, istri Rasulullah SAW pernah bertanya kepada suaminya, "Ya Rasulullah. bukankah Allah Swt telah mengampuni semua dosamu terdahulu dan yang akan datang, buat apa engkau bersusah payah menjalankan ibadah bahkan sepanjang malam hingga kakimu bengkak karena lama berdiri?"
Rasulullah kemudian menjawab, "Wahai Aisyah, bukankah lebih elok jika aku bersyukur." (HR Bukhari)
Kisah sederhana diatas mengajarkan kepada kita betapa hebatnya Nabi Muhammad SAW dalam mengekspresikan rasa syukur atas semua nikmat yang diberikan oleh Allah Swt.
Meskipun sudah diberikan jaminan masuk surga, tidak membuat Rasulullah jumawa. Beliau justru semakin tekun menjalankan ibadah seperti salat, berpuasa, berzikir dan beramal kepada sesama.
Rasulullah memberikan contoh nyata kepada kita bahwa bersyukur bukan hanya tentang berucap "Alhamdulillah", namun lebih dari itu bersyukur merupakan pilihan sikap yang mesti diwujudkan dalam perbuatan.
Apakah kita sudah bersyukur?Â
Pertanyaan ini yang menjadi pijakan awal saya dalam merenungkan makna kata syukur yang sesungguhnya.Â
Seringkali kita lupa bahwa sebenarnya banyak hal baik yang diberikan oleh Allah Swt. Namun ketika berhadapan dengan ujian hidup, kita justru mengeluh dan mengesampingkan nikmat.
Kita mengumpat, mencaci bahkan merasa jadi orang yang paling terzalimi di muka bumi. Semua ini tak lain karena respon emosional yang tidak mampu kita kontrol.
Sahabat sekalian, perlu kita pahami bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan kita, entah hal baik atau buruk sejatinya bersifat netral. Pemaknaan atas semua peristiwa itulah yang menjadi sumber masalah.
Sebagai contoh, si Ahmad akan mengikuti tes ujian masuk perguruan tinggi negeri favorit. Ahmad telah mempersiapkan segalanya berbulan-bulan, mulai dari ikut bimbingan. latihan soal-soal hingga salat tahajud setiap malam.
Pada saat hari pengumuman tiba, ternyata Ahmad dinyatakan tidak lulus. Ahmad merasa begitu kecewa, sedih dan menyalahkan diri sendiri karena menganggap persiapan yang dilakukan tidak cukup.
Ahmad mengurung diri dan tidak mau berinteraksi dengan siapapun kemudian mengalami stres berkepanjangan. Ahmad merasa bahwa ini adalah akhir dari segalanya.
Rekonstruksi diatas membuktikan kepada kita betapa bahayanya pemaknaan suatu peristiwa atau kejadian terhadap pilihan sikap untuk kelangsungan hidup seseorang.
Ahmad belum menyadari bahwa ketika akan mengikuti kontestasi, pilihan kemungkinannya hanya ada 2 yaitu lulus dan tidak lulus. Hal kedua yang belum disadari oleh Ahmad ialah dua kemungkinan itu awalnya bersifat netral artinya semua peserta juga akan memiliki peluang yang sama.
Sifat netral itu akan berubah seiring dengan makna apa yang kita berikan. Idealnya kemungkinan lulus ujian akan kita maknai dengan kebahagiaan, kebanggaan dan kesenangan. Sedangkan kemungkinan tidak lulus akan kita maknai dengan kekecewaan dan kesedihan.
Sampai disini kita bisa memahami bahwa "makna" terhadap peristiwa yang menjadi akar masalahnya. Bayangkan jika Ahmad memberikan makna kemungkinan tidak lulus ujian sebagai peluang untuk berkembang dan pelajaran untuk menguatkan, maka Ahmad tidak akan sedih atau kecewa.
Lebih dari itu, jika Ahmad meninggikan kesadaran bahwa ternyata selama proses akan mengikuti ujian, dirinya telah semakin rajin belajar, disiplin berlatih serta tekun beribadah, maka seharusnya Ahmad bersyukur atas hal-hal baik yang telah ia capai.
Rasa syukur akan menetralisir segala makna-makna negatif yang disematkan dalam kenyataan bahwa dirinya tidak lulus ujian.Â
Keberhasilan dan kegagalan dalam setiap perjalanan kehidupan adalah keniscayaan yang sudah pasti akan kita hadapi. Jadi mari kita memberikan makna baik di setiap kejadian dan menetralkan rasa dengan bersyukur.
Bagaimana cara kita bersyukur?
Sebuah pertanyaan besar kembali riuh dalam benak saya untuk memahami hakikat bersyukur.Â
Diriwayatkan dari Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, kisah ini diriwayatkan Abdullah bin Muhammad, beliau menceritakan, "Suatu hari aku berada di wilayah perbatasan, wilayah arish di negeri Mesir. Aku melihat sebuah kemah kecil, yang dari kemahnya menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang sangat miskin."
Beliau mendatangi kemah di perbatasan itu untuk mengetahui apa yang ada di dalamnya. Kemudian beliau melihat sosok laki-laki biasa dalam keadaan terbaring dengan tangan dan kakinya buntung, telinganya sulit mendengar, matanya buta dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara.
Dari lisan laki-laki tersebut aku mendengar, "Ya Allah berilah aku ilham untuk terus mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat muliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain."
Kemudian Abdullah bin Muhammad bertanya kepada lelaki itu, "Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?"
Lelaki pemilik kemah itu pun lantas menjawab, "Wahai saudaraku, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya laut itu akan menenggelamkan atau gunung api yang aku akan terbakar atau dijatuhkan langit kepdaku yang pasti akan meremukkanku. Aku tidak akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur."
Abdullah bin Muhammad kembali bertanya, "Bersyukur atas apa?"
Lelaki itu kembali menjawab, "Tidakkah engkau melihat Dia telah menganugerahkan aku lisan yang senantiasa berzikir dan bersyukur. Disamping itu aku juga memiliki seorang anak yang waktu salat ia selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapi aku. Namun sejak tiga hari ini ia tidak pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan dia?"
Setelah beberapa saat mencari, Abdullah bin Muhammad mendapati jenazah sang anak sedang dikelilingi oleh singa. Sang anak ternyata telah tiada.
Abdullah bin Muhammad pun bingung bagaimana cara untuk menjelaskan kepada lelaki tersebut. Ia lantas berkata, "Wahai saudaraku, apakah engkau pernah mendengar kisah Nabi Ayub As?"
Lelaki itu menjawab, "Iya aku pernah mendengarnya."
Abdullah bin Muhammad melanjutkan, "Sesungguhnya Allah Swt telah memberinya cobaan dalam urusan hartanya. Bagaimana keadaannya dalam menghadapi musibah itu?"
Lelaki itu berujar, "Beliau menghadapinya dengan sabar."
Abdullah bin Muhammad kembali bertanya, "Nabi Ayub As diuji dengan kefakiran, bagaimana beliau menghadapinya?"
Lelaki itu menjawab, "Beliau bersabar."
Abdullah bin Muhammad bertanya lagi, "Nabi Ayub As juga diuji dengan tewasnya semua anak-anaknya, bagaimana beliau menghadapinya?"
Lelaki itu berkata, "Beliau tetap bersabar."
Abdullah bin Muhammad bertanya kembali, "Nabi Ayub As diuji pula dengan berbagai penyakit di badannya, bagaimana keadaannya?"
Lelaki itu menjawab, "Beliau selalu bersabar, sekarang katakan padaku dimana anakku?"
Abdullah bin Muhammad menjawab, "Sesungguhnya putramu aku temukan diantara gundukan pasir telah diterkam dan dimakan oleh singa buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkanmu."
Kemudian lelaki pemilik kemah berkata, "Alhamdulillah, yang Dia tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada Allah sehingga ia diazab di neraka."
Lelaki itu kemudian menarik nafas panjang dan meninggal dunia. Abdullah bin Muhammad membaringkan jenazah lelaki itu di lengannya, ia bingung harus melakukan apa karena sendirian. Beliau kemudian menutup jenazah lelaki itu dengan  jubahnya.
Kemudian melintas empat orang laki-laki mengendarai kuda. Mereka bertanya, "Wahai saudaraku, apa yang terjadi kepadamu?"
Abdullah bin Muhammad menceritakan apa yang terjadi dan meminta pertolongan kepada para penunggang kuda tersebut untuk membantu mengurus jenazah karena memang tidak mengenal sebelumnya.
Para lelaki itu kemudian meminta Abdullah bin Muhammad untuk membuka tutup jenazah, siapa tahu mereka mengenalnya. Sesaat setelah tutup jenazah dibuka, para lelaki itu lantas berkata, "Subahanallah wajah yang senantiasa bersujud kepada Allah, mata yang selalu menunduk atas apa yang diharamkan, Tubuhnya selalu bersujud tatkala semua orang sedang terlelap."
Lelaki pemilik kemah itu ternyata bernama Abu Qilabah yang merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah ditawari untuk menjadi hakim, namun menolak jabatan itu dan memilih tinggal di perbatasan hingga meninggal dalam keadaan seperti ini.
Dari kisah Abu Qilabah kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa seburuk apapun kondisi yang tengah kita hadapi saat ini ternyata selalu ada hal baik yang layak untuk disyukuri.
Rasa syukur yang luar biasa dari Abu Qilabah ternyata mampu menguatkan dirinya untuk terus beribadah. Rasa syukur akan hadir manakala kita mampu melihat hal-hal baik di dalam kehidupan kita.
Meluaskan sudut pandang atas semua kondisi yang terjadi akan memperbesar limitasi kita dalam memahami kebaikan-kebaikan yang telah Allah Swt berikan. Inilah cara paling efektif untuk bersyukur.
Apa saja manfaat bersyukur?
Setelah memahami makna dan cara bersyukur, mari sekarang kita menelaah manfaat bersyukur
Pertama, bersyukur membuat hidup menjadi lebih berkah. Dengan bersyukur, kita tidak akan merasa kekurangan. Justru bersyukur menciptakan rasa keberlimpahan yang kemudian akan menarik banyak hal-hal baik datang dalam kehidupan kita.
Kedua, bersyukur berarti menghargai apa yang dimiliki saat ini baik materi maupun non materi. Dengan menghargai apa yang dimiliki, maka kita akan merasa lebih tenang dan bahagia.
Ketiga, bersyukur menciptakan perilaku pantang menyerah dan terus berusaha. Seseorang yang bersyukur tidak akan mengeluh atau meratapi nasibnya. Ia justru menjadi pribadi yang tangguh dan kuat untuk menjalani setiap proses yang mesti dilalui.
Keempat, bersyukur akan mendekatkan kita kepada Sang Pencipta. Rasa syukur meningkatkan kesadaran kita bahwa segala hal baik maupun hal buruk berasal dari Allah Swt. Oleh sebab itu, pasrahkan semua masalah kepada Nya. Tugas kita adalah terus berusaha, berupaya dan berdoa.
Kelima, bersyukur sangat mempengaruhi kesehatan mental. Hasil penelitian dari American Psycological Association menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki kebiasaan bersyukur cenderung lebih bahagia. Mereka memiliki pandangan hidup lebih positif dan berperilaku lebih baik.
Hakikat bersyukur bukan hanya diucapkan, melainkan juga diwujudkan dalam sikap dan perbuatan sehari-hari. Nabi Muhammad SAW adalah teladan sempurna bagi setiap manusia untuk menjalankan sikap bersyukur.
Salah satu contoh wujud rasa syukur adalah kebahagiaan kita bertemu dengan bulan Ramadan tahun 1445H, bulan penuh rahmat bagi semesta alam. Oleh karena itu, mari kita menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan penuh kegembiraan dan suka cita.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Salam Sehat dan Bahagia untuk kita semua. Allahuma Aamiin.