Mohon tunggu...
Tharisa Quilla Azizah
Tharisa Quilla Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Agroekoteknologi Universitas Brawijaya

Start Dreaming Start Action

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Batas Toleransi Masyarakat Madani Demi Kerukunan Umat Beragama

26 November 2021   22:57 Diperbarui: 26 November 2021   23:12 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ABSTRACT

            Differences in religion and belief must exist in every community environment. These differences often lead to conflict and rejection. Many cases are due to the rejection of religious differences because people cannot accept these differences. Indonesia itself has many cases of religious differences so that conflicts between religious communities often occur. Tolerance needs to be applied to all communities so that they can accept each other and understand differences. In this way, harmony between religious communities and civil society can be achieved. This achievement is the result of tolerance. But tolerance, which also has limits, must be seen that not everything can be directly accepted and understood. In the end, excessive tolerance can bring division back. Islam teaches that inter-religious tolerance is accepting the existence of other groups and not justifying their religion because the truth belongs to each.

Keywords: Tolerance, Civil Society, Religious Harmony

ABSTRAK

            Perbedaan agama dan kepercayaan pasti terdapat pada setiap lingkungan masyarakat. Perbedaan tersebut sering menimbulkan pertentangan dan penolakan. Banyaknya kasus akibat penolakan akan perbedaan agama karena masyarakat tidak bisa menerima perbedaan tersebut. Indonesia sendiri memiliki banyak kasus terhadap perbedaan agama sehingga sering terjadi konflik antar umat beragama. Toleransi perlu diaplikasikan kepada semua masyarakat agar bisa saling menerima satu sama lain dan memahami perbedaan yang ada. Dengan begitu terciptanya kerukunan antar umat beragama dan masyarakat madani bisa tercapai. Pencapaian tersebut merupakan buah hasil dari toleransi. Namun toleransi yang juga memilki batas yang harus dilihat bahwa tidak semuanya bisa langsung diterima dan dimaklumi. Islam mengajarkan bahwa toleransi antar umat beragama adalah menerima eksistensi golongan lain dan tidak membenarkan agama mereka karena kebenaran milik masing-masing.

Kata Kunci: Toleransi, Masyarakat Madani, Kerukunan Umat Beragama

PENDAHULUAN

            Agama dan kepercayaan merupakan bagian pada setiap orang. Mereka memiliki hak dalam menganut agama apapun dan memiliki kepercayaan yang mereka yakini. Setiap orang memiliki prinsip hidup masing-masing berdasarkan agamanya. Agama mengajarkan bahwa dalam semesta atau dunia yang kita tinggali terdapat entitas yang sangat berkuasa dan mengendalikan segalanya. Agama mengajarkan konsep tersebut sebagai Tuhan, sosok yang memiliki kekuasaan atas segalanya dan setiap hal yang ada di dunia ada karena-Nya.

            Beragam agama dan kepercayaan telah tersebar di seluruh dunia. Setiap orang memiliki agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan begitu setiap negara memiliki rakyat dengan beragam agama yang hidup berdampingan. Dalam hal ini, banyak perbedaan dan pertentangan pada setiap ajaran agama. Perbedaan pendapat, ajaran yang bersebrangan, dan prinsip yang berlawanan menjadi masalah yang harus dilewati agar menciptakan kerukunan antar umat beragama.

            Di Indonesia sendiri terdapat 6 agama yang diakui. Masyarakat pastinya akan saling hidup berdampingan bersama dengan yang lainnya. Namun saat ini perselisihan umat beragama di Indonesia masih terus berlanjut seakan tiada habisnya. Bahkan kasus seperti  pembakaran rumah ibadah, pelarangan adzan, pengeboman gereja, pengusiran warga yang berbeda keyakinan, bahkan sampai pelarangan segala bentuk aktivitas agama juga terjadi di Indonesia. Dengan banyak kasus tersebut, tentu saja kerukunan akan sulit dicapai. Maka dari itu, masyarakat perlu yang namanya toleransi agar terciptakan masyarakat madani yang bisa mewujudkan kerukunan umat beragama.

Masyarakat Indonesia sepenuhnya tidak banyak yang mempermasalahkan perbedaan karena mereka yakin bahwa setiap perbedaan itu patut diterima dan tidak perlu memaksa mereka untuk menjadi sama dengan yang lainnya. Sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya "Berbeda-beda tapi tetap satu". Semboyan yang ditanam pada dasar negara menjadi cerminan bahwa setiap perbedaan dan keberagaman di Indonesia sepaputnya diterima dan bisa bersatu tanpa adanya perpecahan. 

Banyak masyarakat yang menerima perbedaan tersebut dan hidup dengan saling menerima satu sama lain tanpa adanya penekanan atau pertentangan. Bahkan saling membantu terhadap kegiatan agama masing-masing. Kasus dari perbedaan agama juga muncul akibat beberapa orang yang sulit menerima dan terlalu memaksakan kehendak mereka agar orang-orang yang berbeda pandangan dan agama bisa mengikuti mereka. Hal tersebut menjadi akar utama adanya kerusuhan dan kasus-kasus karena perbedaan agama.

Toleransi menajdi faktor utama dalam membangun kerukunan pada masyarakat beragama, sehingga perlu kesadaran masyarakat agar bisa saling memahami dan menerima satu sama lain. Dengan begitu masyarakat madani bisa terbentuk dan kerukunan tetap terjaga adanya. Namun toleransi yang dimaksud bukan berarti sepenuhnya menerima perbedaan dan membenarkan setiap pertentangan agar terlihat sama. Toleransi juga memiliki batas dimana setiap hal tidak dapat diterima begitu saja dan mewajarkannya. Jika setiap orang melakukan toleransi tanpa mengetahui maksud dan tujuan utamanya, maka bisa membuat lingkungan yang ambigu.

PEMBAHASAN

            Perbedaan keyakinan dan agama memang sering menimbulkan konflik yang sangat meresahkan. Setiap pihak mengalami kerugiannya masing-masing dan tidak jarang juga menciptakan lingkungan yang tidak aman karena rasa permusuhan yang timbul dari konflik tersebut. Maka dari itu perlu menangani konflik tersebut dengan sebaik mungkin. Toleransi sendiri menjadi pilihan utama yang menjadi dasar menciptakan masyarakat yang rukun meskipun terdapat perbedaan.

  • Latar Belakang Konflik Umat Beragama

Setiap konflik yang terjadi diantara umat beragama seringkali timbul tanpa sebab yang jelas karena pada awalnya hubungan antar umat beragama sangatlah harmonis dan saling menerima satu sama lain. Jika terjadi penolakan, maka sedari awal mereka tidak akan pernah hidup berdampingan. Maka dari itu pasti ada latar belakang dari konflik-konflik yang terjadi.

            A.1 Masalah Sosial

Konflik umat beragama bisa terjadi karena kesalahpahaman atau perbedaan pemahaman dalam memberikan pendapat mengenai berbagai aspek yang juga tercampur oleh aspek lain seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Masalah sosial yang dapat menimbulkan konflik juga terdapat pada perbedaan sikap, pendirian, dan perasaan setiap individu, kemudian perbedaan budaya yang juga seringkali menimbulkan konflik karena bertentangan dengan pola hidup dari budaya masyarakat lain.[1] Lingkungan sosial menjadi dasar dari setiap hubungan yang terjalin karena pada hakikatnya setiap hubungan berawal dari membangun pemahaman satu sama lain dalam ruang lingkup sosial.

            A.2 Salaf Penafsiran Doktrin Agama

Agama mengajarkan kebaikan dan kemuliaan pada penganutnya. Setiap adanya larangan dari agama, maka masyarakat percaya bahwa hal tersebut pastilah buruk. Namun ada kalanya pemahaman tersebut menjadi berbeda dari yang seharusnya. Doktrin atau ajaran agama semestinya memberikan ajaran mengenai kebaikan dan menciptakan kedamaian yang aman, nyaman, dan tentram. Biarpun begitu ada beberapa orang yang salah mengartikan dan mengubah secara besar ajaran yang tercantum. Konflik yang terjadi antar umat beragama cenderung berbentuk kekerasan yang memaksa. Kekerasan tersebut karena mereka melihat dan mengartikan sendiri bahwa kekerasan dapat dilakukan. Gambaran dari keadaan dan kondisi tertentu yang menunjukkan bahwa kekerasan dapat dilakukan menjadi salah satu latar belakang dari kekerasan diperbolehkan oleh agama. Meskipun terdapat pengecualian bagaimana kekerasan dapat dilakukan, namun keruwetan pemahaman tersebut menjadi ketidakjelasan yang belum benar-benar dijelaskan bagaimana hukumnya dalam agama dan akhirnya praktik kekerasan tersebut seringkali digunakan oleh beberapa kelompok. Padahal bagaimanapun bentuknya, kekerasan merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan asumsinya dalam agama.[2]

            A.3 Truth Claim

Truth claim atau klaim akan kebenaran bahwa agamanya lah yang paling benar adanya. Pandangan ini tercipta dari pemahaman perspektif orang-orang bahwa agama mereka adalah yang paling benar dan mengharuskan untuk disebarkan kepada yang lainnya. Penyebaran agama yang mereka lakukan ini menjadi krusial, karena bisa membuat ketegangan antar umat beragama lainnya.[3] Perspektif yang mereka yakini akan sangat bertentangan karena setiap dari mereka mengklaim bahwa agamanya lah yang paling benar. Hasilnya pertentangan karena perbedaan perspektif membuat konflik semakin memanas. Truth claim yang harusnya diyakini bahwa memang agama yang dianut oleh mereka itu benar dan tidak perlu memaksakan klaim tersebut kepada orang lain. Cukup kepada kepercayaan masing-masing tanpa perlu mengaplikasikan perspektif mereka terhadap orang lain.

Ketiga faktor tersebut memang banyak menimbulkan konflik. Ketiganya merupakan faktor dari non keagamaan dan keagamaan. Non keagamaan disini berupa konflik politik, ekonomi, pendidikan, hukum, kebijakan, sampai pemberitaan media. Sedangkan faktor keagamaan yang memicu konflik berupa ujaran kebencian agama, pembangunan rumah ibadah, kebijakan bidang agama yang meresahkan, dan penyebaran aliran agama non-mainstream.[4] Setiap konflik keagamaan memang memiliki latar belakang masing-masing dari yang berawal dari murni keagamaan atau non keagamaan, bahkan dalam konflik besar keagamaan seperti Perang Salib jika dilihat lebih dalam tidak benar-benar murni keagamaan karena ada perebutan kekuasaan, sumber daya, dan lainnya. Bahkan konflik masyarakat di Indonesia seperti Maluku, Ambon, dan Poso juga berawal dari perebutan kekuasaan dan permasalahan sumber daya yang sangat terbatas lalu mengikutsertakan isu agama serta tokoh-tokoh agama dalam konflik tersebut[5] Karena sebenarnya agama memang menciptakan kedamaian dalam ajarannya, bukan untuk saling bermusuhan apalagi menciptakan konflik yang mengakibatkan perpecahan.

  • Toleransi Antar Umat Beragama

Toleransi sebagaimana yang telah kita kenal adalah sikap menghargai dan menghormati perbedaan dari setiap orang. Artinya kita menerima perbedaan tersebut dan tidak mengusik atau menentang perbedaan antara satu dengan yang lain sehingga kita akan menerima dengan terbuka perbedaan tersebut. Dalam toleransi kita menyamakan kedudukan kita dan tidak memberikan tekanan terhadap perbedaan. Secara  normatif nilai-nilai dasar yang menjadi landasan terbentuknya toleransi antar umat beragama adalah sebagai berikut:[6]

  • Nilai Agama

Bentuk toleransi umat beragama bisa berbagai macam. Namun dalam penerapannya hal yang paling penting adalah ajaran agama yang dipahami dengan perspektif terbuka karena pada dasarnya toleransi telah diajarkan oleh setiap agama untuk menghormati dan menghargai agama lain. Perbedaan Tuhan dan kepercayaan yang dianut bukanlah masalah karena sejatinya, kita sebagai umat beragama tidak berhak menginterupsi umat lain karena perbedaan kepercayaan dan Tuhannya. Sebagai contohnya umat Islam dan Kristen yang hidup berdampingan di Mojokerto. Keduanya bisa hidup berdampingan karena ajaran agama masing-masing mengajarkan menghargai sesama. Islam pada prinsip toleransi adalah tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama lain dan berhak menganut agama yang dia yakini serta beribadah sesuai ajaran agamanya. Islam juga mengajarkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda, karena semua itu demi mengajarkan manusia untuk saling memahami, mengenal, dan menghormati satu sama lain. 

  • Nilai Budaya

Selain ajaran agama juga terdapat toleransi berdasarkan budaya. Budaya lahir dari kebiasaan-kebiasaan suatu kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Budaya yang membentuk toleransi biasanya karena sikap menghormati dan menghargai telah diterapkan pada setiap kegiatan. Salah satunya adalah gotong royong yang menciptakan kerja sama antar sesama dan membangun hubungan dari setiap perbedaan menjadi lingkungan yang saling mengerti satu sama lain. Budaya tolong menolong juga membangun hubungan antar umat beragama yang lebih baik. Pengaruh budaya dalam toleransi sangat tinggi karena pada dasarnya, setiap tempat memiliki budaya yang bernilai tinggi dan dinilai penting dalam menciptakan ruang lingkup masyarakat yang tentram.

Sedangkan, ditinjau melalui observasi atau pengamatan tentang nilai-nilai yang membentuk toleransi adalah sebagai berikut:[7]

  • Kemanusiaan

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mana sudah menjadi sikap manusia untuk terus bergantung kepada yang lainnya. Manusia tidak dapat menyelesaikan segala masalah sendiri maka mereka perlu berhubungan satu sama lain dan saling membantu. Selain itu setiap kebutuhan manusia memang tidak dapat dipenuhi sendiri, terkadang mereka perlu pertolongan dari orang lain, seperti menanggulangi banjir, kebakaran, membangun rumah, dan saling berkomunikasi. Naluri dasar manusia yang membutuhkan orang lain ini mendorong toleransi dalam setiap perbedaan. Karena perbedaan tersebut memiliki masing-masing kebutuhan yang bisa saling melengkapi satu sama lain.  Maka kita perlu mengurangi sikap saling cemooh dan individualis dengan beranggapan bahwa kita tidak memerlukan orang lain.

  • Nasionalisme 

Indonesia memiliki beragam suku, budaya, ras dan agama. Dengan berbagai perbedaan tersebut membuat kita harus sadar bahwa ada banyak perbedaan dalam lingkungan kita. Sebagai negara dengan banyak perbedaan tersebut, Indonesia masih dapat bersatu dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dibangun dan dipertahankan oleh berbagai macam perbedaan hingga menjadi negara kesatuan bukanlah hal yang mudah. Maka dari itu kita perlu menanamkan jiwa nasionalisme, menghargai dan menghormati setiap perbedaan dengan rasa cinta tanah air akan mendorong toleransi menjadi lebih tinggi.  Toleransi yang tercipta karena jiwa nasionalisme akan membangun masyarakat yang saling tolong menolong dan membantu kemajuan Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak keanekaragamannya.

  • Tokoh Agama

Tokoh masyarakat menjadi panutan atau cerminan yang diikuti oleh masyarakat. Dalam praktiknya, tokoh masyarakat terutama tokoh agama akan sangat berperan penting dalam mendorong toleransi dari setiap tindakan mereka. Setiap bentuk kegiatan yang dilaksanakan akan menjadi contoh yang dilihat oleh masyarakat. Sehingga perlu bentuk nyata toleransi seperti menghormati dan menghargai agama lain. Sesama tokoh agama meskipun berbeda mereka bisa menjaga tali persaudaraan dan hubungan yang saling menghargai maka bisa membangun toleransi yang tinggi juga pada diri masyarakatnya.

Kehidupan berdampingan tersebut memang menjadi kenyamanan bersama. Apalagi mampu mempertahankan toleransi dalam waktu yang sangat lama dan terus berhubungan baik tanpa adanya perpecahan. Toleransi yang diajarkan agama seharusnya dapat dilihat dengan jelas, bahwa agama telah mengajarkan untuk tidak saling bermusuhan dan harus saling menerima. Selain itu setiap agama telah memberikan ajaran bahwa kita memang harus menghormati umat agama lain dan tidak mengganggu aktivitas masing-masing. Karena toleransi yang diajarkan seperti itu menciptakan kerukunan antar umat beragama yang sangat harmonis. Tidak adanya perpecahan dan membantu sesama. Menciptakan masyarakat dengan tujuan yang sama dan membangun masyarakat madani yang sangat kuat.

  • Terciptanya Masyarakat Madani 

Masyarakat madani adalah sebuah istilah dari suatu masyarakat yang sadar akan hak-hak warga masyarakat dan melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara, beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta maju dalam penguasaan iptek[8]. Jika dilihat secara luas, masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang kokoh dan berpendirian, hal-hal mengenai aspek kemanusiaan dapat dengan mudah diketahui oleh kelompok masyarakat ini. Akan sangat menguntungkan apabila di tiap-tiap masyarakat kita terdapat masyarakat madani, kemungkinan turunnya kesenjangan pun akan sangat besar mengingat masyarakat madani merupakan sebuah lingkungan positif yang selalu taat pada norma kemanusiaan. Indonesia sebagai negara demokratis dengan masyarakat yang madani di dalamnya akan saling menguntungkan dan bermanfaat bagi keduanya, penegakkan hak asasi manusia yang merupakan kewajiban setiap warga negara dapat didukung sepenuhnya, kedamaian juga dapat tercipta apabila sesama manusia dapat saling menghargai dan bertindak sesuai norma-norma kehidupan. 

Persatuan dan kesatuan yang erat sebagai sesama masyarakat Indonesia, sudah kita rasakan sejak dini. Dimana perbedaan bukanlah sebuah hambatan bagi kita untuk bersikap toleran dan sopan sesama umat beragama. Sejatinya, keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia, pada prinsipnya, sudah diatur dengan benar[9]. Perbedaan pendapat dan timbulnya konflik antar umat beragama lumrah terjadi dan itu adalah sebuah kesalahan fatal yang memerlukan tindakan kesadaran bahwa beragam adalah keunikan yang Indonesia miliki. 

Walau begitu, masalah tetap terjadi dan sewaktu-waktu dapat pecah kembali. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia tentang kerukunan antarumat beragama perlu diperiksa ulang. Konflik yang melibatkan agama sebagai pemicunya merupakan bumerang untuk Indonesia dan diperlukan langkah antisipatif demi damainya kehidupan umat beragama di masa mendatang dan tidak menutup kemungkinan jika hal ini terus diabaikan, masalah yang lebih berat akan terjadi dan mengganggu keseimbangan negara dalam bidang sosial, politik, ekonomi, keamanan, budaya, dan hal-hal lainnya yang saling berkaitan. Maraknya digitalisasi dan reformasi membawa dampak kebebasan yang terkadang disalah artikan menjadi tidak terkendali. 

Tentu rakyat Indonesia mencita-citakan masyarakat dan kelompok organisasi yang cinta damai dan penuh toleran terhadap sesama yang diikat oleh rasa persatuan nasional untuk membanfun sebuah negara yang majemuk.[10] Pancasila yang menjadi dasar negara yang dalam sila pertamanya berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" itu sudah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia, terlepas dari apa pun kepercayaan yang dipegang, bangsa Indonesia tetap menjunjung tinggi Sang Maha Kuasa, dan disambung oleh sila kedua yang menjadikan toleransi sebagai perwujudan "Kemanusiaan yang adil dan beradap" dimana saling menghargai dan berbagi akan sangat istimewa bagi setiap masyarakat Indonesia. Keteguhan dan kekokohan bangsa juga diperkuat dengan adanya sila ketiga pancasila yang berbunyi "Persatuan Indonesia", sebuah kunci utama paling krusial dan bagaikan jantung sebuah bangsa inilah yang sampai sekarang dipegang oleh seluruh masyarakat Indonesia juga sebagai masyarakat madani itu sendiri dan keadilan yang dijanjikan oleh sila kedua dan sila kelima pancasila adalah hal terpenting dimana setiap warga negara memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, sebagai manusia yang bebas namun tetap taat pada keagamaan yang dianutnya. 

Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan dinamika intelektual muslim dalam memaknai ajaran Islam terkait kehidupan modern, terutama problem politik dan kebangsaan. Tentu adalah sebuah keberhasilan apabila masyarakat madani ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, menunjang segala aspek kemanusiaan.[11] Istilah masyarakat madani awalnya dikenalkan di Indonesia pada Festival Istiqlal bulan September 1995. Dalam pidato Adalah Anwar Ibrahim yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, beliau mengatakan bahwa masyarakat madani adalah terjemahan dari civil society. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama' madani, yang diumumkan oleh Prof. Naquib Attas. Kata 'madani' berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga sebuah peradaban, dengan konsep madani bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal idela dalam kehidupan. Muhammad Dawam Rahardjo pun sependapat bahwa alih bahasa dan difinisi yang sesuai dari civil society adalah masyarakat madani yang kita kenal sekarang.[12] Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam, sedangkan dalam pemahaman civil society sendiri menganut tradisi Barat Non-Islam. Disinilah beberapa perbedaan muncul dan karenanya juga, pemaknaan lain di luar konteks awal akan merusak makna aslinya. Hal yang menjadi pembeda diantara kedua konsep ini adalah aplikasi konsep ini pada masyarakat. Civil Society telah teruji secara terus-menerus dalam tatanan kehidupan sosial-politik Barat hingga mencapai makna yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban Barat modern yang ada hingga saat ini. Keberhasilan dalam sebuah konsep merupakan nilai penting yang harus digarisbawahi, dengan sistem kepemerintahan yang dijalankan dinegaranya, negara Barat memang memiliki struktural yang kompleks tetapi tersusun dengan rapi membuatnya berhasil menghapuskan dominasi agama, monarkhi dan kapital sementara masyarakat madani baru lolos dari dominasi kolonial. Sedangkan masyarakat madani sendiri merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu pada penciptaan peradaban. Tentunya sangat bersinggungan dengan artinya, hal ini menyatu dalam pengertian al-madinah yang arti harfiyahnya adalah kota.[13] Dengan demikian, civil society yang diterjemahkan sebagai masyarakat madani mengandung tiga hal utama yakni agama, peradaban, dan perkotaan. Dengan agama sebagai sumber, peradaban sebagai proses, dan masyarakat kota adalah hasilnya. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa masyarakat madani dengan konsep Arab-Islam dapat bersaing dengan civil society yang menganut konsep Barat Non-Islam, tidak ada yang salah dari kedua konsep namun dalam pandangan Islam, masyarakat madani dinilai dapat lebih mengayomi dan tetap berpegang teguh pada agama yang dianut. Sebagaimana konsep ini diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, hal utama mengenai perbedaan dapat terselesaikan dengan terciptanya masyarakat madani. Masyarakat yang tidak ketinggalan zaman dan terus mengejar ketertinggalan tanpa meninggalkan nilai moral sebagai seorang manusia.

Menurut Anwar Ibrahim sediri, masyarakat madani memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu kemajemukan budaya (multikuktural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan menghargai.  Dengan lebih dari 478 suku bangsa di Indonesia tentu kebudayaan sangat melekat dan berbeda di setiap sukunya, beberapa tradisi nenek moyang yang masih dilestarikan pun menjadi daya tarik Indonesia sendiri. Ini merupakan bentuk awal dari sebuah masyarakat madani, dimana perbedaan yang dapat dilihat dari ujung barat hingga ujung timur pulau di Indonesia memiliki keberagaman yang melimpah, tidak luput dari bahasa dan agama yang ada, Indonesia merupakan negara yang sangat tepat untuk konsep masyarakat madani ini. Perbedaan yang menyangkut hubungan timbal balik dapat dirasakan setiap harinya, dimana bertemu dengan orang yang berbeda suku dan agama merupakan hal yang sangat awam di negara ini. Dengan adanya fakta bahwa keberagaman Indonesia sangat melimpah, masyarakat pun sadar dan akhirnya memiliki sikap saling memahami dan menghargai sesama. Masyarakat madani, yang merupakan masyarakat berbudaya, kota, berperadaban tinggi, berbudi luhur, dan demokratis, merupakan sebuah kelompok masyarakat yang utuh dan dapat memeluk sesama tanpa memikirkan perbedaan besar kecil yang ada karena setiap agama memiliki misi untuk membawa kedamaian dan keseimbangan hidup, tidak hanya untuk manusia saja tetapi semua mahkluk Tuhan yang ada di bumi ini.

  • Batas Toleransi Antar Umat Beragama

Toleransi memang menciptakan kerukunan antar umat beragama namun toleransi bukan sekedar menghormati dan menghargai agama lain. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam toleransi umat beragama. Dalam Islam dijelaskan bahwa toleransi antar umat beragama memang diajarkan dan dianjurkan untuk dilakukan. Islam dalam surat Al-Mumtahanah Ayat 28 mengajarkan bahwa Islam tidak melarang untuk membantu dan berhubungan baik dengan agama lain, dengan catatan tidak dikaitkan dengan aqidah dan ibadah wajib. Dalam kitab suci Al-Quran juga dijelaskan bahwa Islam tidak memaksa siapapun untuk memeluk Islam. Karena itulah Islam saja mengajarkan bahwa kita harus tetap menjaga hubungan dengan agama lain dan tidak melarang sama sekali berhubungan dengan agama lain. Sikap toleransi beragama bukan berarti harus membenarkan keyakinan pemeluk agama lain atau harus meyakini bahwa semua agama merupakan jalan yang benar dan direstui. Namun, yang dibutuhkan dalam toleransi adalah sikap saling menghargai terhadap pilihan orang lain dan eksistensi golongan lain, tidak perlu sampai membenarkan sebuah kepercayaan, kebenaran hanya milik masing-masing pemeluk agama.[14]

Islam mengajarkan toleransi dengan pandangan bahwa kita harus menerima bahwa memang ada agama lain yang memang memiliki keyakinan masing-masing. Islam memang mengajarkan bahwa agama yang paling benar adalah Islam, namun tidak meminta untuk setiap orang yang berbeda keyakinan untuk memeluk Islam karena itu merupakan sebuah paksaan. Justru kita harus bisa menerima mereka dengan membantu dan saling menghargai bahwa mereka memang memiliki perbedaan keyakinan. Kita tidak berhak untuk melarang atau memusuhi mereka.

Selain itu, dijelaskan bahwa kita tetap harus menjaga hubungan dengan umat agama lain dan tidak mengganggu aqidah dan ibadah wajib. Seperti, ikut merayakan ibadah di hari perayaan agama lain, menerima undangan dalam kegiatan keagamaan umat lain, mengikuti gaya hidup yang bertentangan dengan aqidah, dan sampai membenarkan agama mereka dengan "percaya" bahwa Tuhan mereka ada. Percaya dalam artian bahwa mereka memang yakin ada Tuhan selain Allah, hal inilah yang dimaksud toleransi berlebihan. Padahal kita cukup membiarkan pendapat mereka soal Tuhan mereka dan tidak perlu ikut membenarkan adanya, karena sebagaimana yang diajarkan oleh Islam bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kita cukup menerima dan menghargai adanya agama lain tanpa ikut campur dalam urusan keagamaan dan keyakinan umat lain.

PENUTUP 

Masyarakat madani pada akhirnya dapat muncul dengan sendirinya, ia butuh dukungan yang dapat membentuk itu secara alamiah. Hal-hal yang dialami oleh masyarakat dapat menentukan peradaban seperti apa yang akan dihadapi oleh sebuah bangsa yang dimulai oleh sekelompok masyarakat kecil. Lingkungan memberikan dampak besar bagi terciptanya masyarakat yang madani. Faktor-faktor tersebut adalah kesatuan yang menjadi karakter juga mengikat masyarakat madani.

            Bukan tanpa alasan sebuah aturan masyarakat madani tercipta, ini karena sekarang semakin marak orang-orang yang belajar agama tetapi dengan ajaran yang sangat melenceng dari yang seharusnya agama itu katakan. Beberapa hal ini dapat membuat perdebatan antaragama terjadi, jika sudah seperti ini tentu tidak ada yang mau mengalah soal kepercayaannya yang tidak diterima oleh kepercayaan lain. Mungkin suatu hal dapat menjadi larangan dan dosa besar di suatu agama, tetapi di agama lainnya hal tersebut bukanlah sesuatu yang membuat dosa dan tidak masalah apabila dilakukan oleh si pemeluk agama tersebut. Tetapi terkadang, kedamaian memang suka diusik dan terusik dengan cepat, fatalnya dapat membuat perpecahan dalam kesatuan terjadi.

            Dengan risiko yang bisa datang kapan saja, Indonesia pun memilih konsep masyarakat madani dengan Arab-Islam sebagai acuannya. Karena hal ini dapat menunjang toleransi antar umat di Indonesia, beragama dan berbudaya, keduanya merupakan hal penting yang tidak dapat ditinggalkan. Rasa kemanusiaan dan tanggung jawab sebagai seorang manusia, dapat menjunjung tinggi nilai moralitas suatu kaum.

            Dalam sejarah Islam, Piagam Madinah merupakan rumusan populis dan futuristik dalam konteks menegakkan cita-cita Islam dalam masyarakat majemuk, masyarakat yang sangat dibedakan oleh banyak hal lalu menyatu menjadi satu kesatuan solid dengan berpegang pada keyakinan masing-masing individu. Piagam Madinah sendiri berisi pembentukan umat, persatuan seagama, persatuan segenap warga masyarakat Madinah baik yang segama maupun tidak, dan golongan minoritas. Kesuksesan dan keberhasilan pengenalan masyarakat madani tentu tidak terlepas dari amar makrud nahi munkar Rasulullah Shallalahu 'alaihi Wa sallam.

            Piagam ini juga terdiri dari 47 pasal yang isinya mengatur masalah umat (suku bangsa) di Madinah, kesiapan untuk saling membantu, saling memberikan nasihat, saling membela sesama, dan menghormati kebebasan memeluk agama sesuai keinginan masing-masing individu.

            Masyarakat madani juga dapat dirumuskan dengan sederhana. Dengan membangun masyarakat yang beretika, adil, terbuka, dan demokratif dengan landasan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk hubungan seperti toleransi dan pluralisme akan selalu melekat dalam kehidupan bermasyakat untuk mewujudkan nilai-nilai peradaban.

            Tentu semua ini akan terealisasikan dengan indah apabila kerukunan umat beragama terjaga. Prinsip beragama juga sudah diatur dengan baik dan aturan yang dibuat pemerintah mengenai toleransi antar kelompok seharusnya dapat dilaksanakan oleh masyarakat dengan sebaik-baiknya.

 

Daftar Pustaka

 

Ahsan, N. (2015). Kerukunan Antarumat Beragama Dalam Masyarakat Madani (Analisis Piagam Madinah Dan Relevansinya Bagi Indonesia). Tasamuh, 7(01), 161-180. https://e-jurnal.iainsorong.ac.id/index.php/Tasamuh/article/view/25/20

 

Bakar, A. (2016). Konsep toleransi dan kebebasan beragama. Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 7(2), 123-131. http://dx.doi.org/10.24014/trs.v7i2.1426

 

Elkarimah, M. F., (2016). Masyarakat Madani; Pluralitas Dalam Isyarat Al-Qur'an. Edukasi, 4(02), 386-402. https://ejournal.staim-tulungagung.ac.id/index.php/edukasi/article/view/229/182

 

Isnaini, A. (2014). Kekerasan atas nama agama. Kalam, 8(2), 213-228. https://doi.org/10.24042/klm.v8i2.221

 

Muslih, M. (2010). Wacana Masyarakat Madani: Dialektika Islam dengan Problem Kebangsaan. Tsaqafah, 6(01), 131-146. http://repo.unida.gontor.ac.id/1/1/1.%20Wacana.pdf

 

Muhammad, N. (2017). Masyarakat Madani Dalam Perspektif Al-Quran. Al-Mu'Ashirah, 14(01), 20-31. https://web.archive.org/web/20180413081553id_/http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/almuashirah/article/viewFile/2235/1656

 

Nisvilyah, L. (2013). Toleransi antarumat beragama dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (studi kasus umat Islam dan Kristen Dusun Segaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto). Kajian Moral dan Kewarganegaraan, 2(1), 382-396.

 

Retnowati, P. (2018). Agama, Konflik dan Integrasi Sosial Refleksi Kehidupan Beragama di Indonesia: Belajar dari Komunitas Situbondo Membangun Integrasi Pasca Konflik. SANGKP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan, 1(1), 1-28. https://doi.org/10.20414/sangkep.v1i1.603

 

Wahab, A. J. (2014). Manajemen Konflik Keagamaan (Analisa Latar Belakang Konflik. Jakarta:Elex Media Komputindo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun