Mohon tunggu...
Thareq Mohammad Ainun
Thareq Mohammad Ainun Mohon Tunggu... Penulis - Laman opini

"Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin." - Soe Hok Gie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Ah.." Ucap Si Mantan Pegawai KPK Itu

29 Mei 2021   20:33 Diperbarui: 31 Mei 2021   20:11 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan: Ini cerpen ya, jadi ini fiksi bukan realita... he he. Saya bukan pegawai KPK. Kalau ada pegawai KPK yang namanya saya gunakan untuk tokoh, berarti itu murni kebetulan. 

Melihat kekalutan yang tengah melanda komisi beritikad baik tersebut, agaknya tidak adil kalau saya tidak buat cerpen.

Suara ketukan jari yang beradu dengan meja kayu kala itu mengisi pojok-pojok ruangan ujian. Ya, ujian. Kita, yang notabenenya kebanyakan sudah tua, bahkan ada yang sangat tua, seakan-akan terdorong kembali ke masa sebelum bekerja di tempat ini. Aku pun membuka lembar soal yang sedari tadi bertengger di atas meja kayu ini. Baru saja aku membaca bagian pertama, mata ku seolah-olah menyipitkan diri sendiri dan dahi ku tidak mau kalah untuk mengernyitkan diri sendiri. 

Ya, aku cukup mengerti, sih. Ada beberapa pertanyaan yang seakan ingin mengetahui apakah kita memiliki pandangan yang cenderung rasis. Ada juga pertanyaan yang menanyakan soal nasionalisme dengan pernyataan yang cukup gamblang. Tapi, kenapa ada pernyataan 'saya memiliki masa depan yang suram'l,' ya? Lalu ada 'saya hidup untuk menebus dosa-dosa masa lalu,' ya? Juga ada pernyataan mengenai kaum homosexual. Juga ada beberapa pernyataan yang... tidak masuk akal, mungkin? Apa urusannya semua pernyataan ini dengan taraf kebangsaan, ya?

Oke, pertama-tama, aku memiliki tingkat toleransi atas keanehan yang cukup tinggi. Tapi nampaknya rekan-rekanku tidak begitu. Mereka mulai menggaruk kepala mereka seakan-akan tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Kalau aku? Ya memang aneh, sih. Tadi pun aku menyipitkan mata serta mengernyitkan dahi, kan? Cuma entah kenapa, aku memiliki perasaan bahwa kedepannya akan lebih aneh lagi. Ah, tidak boleh begitu, tidak boleh. Aku harus berprasangka baik. Tidak mungkin kan tes ini dibuat tanpa tujuan yang jelas? Tidak-tidak, tidak mungkin.

Bagian kedua, kita diminta untuk membuat esai untuk beberapa topik. Oh, ya ya, aku mengerti. Pasti untuk mengetahui seberapa nasionalisnya kita, kan? Oke kalau begitu. Eh, tapi kenapa ada beberapa topik yang nampaknya tidak ada urusannya sama kebangsaan, ya? Ah, mungkin untuk memenuhi soal saja, ya?

Banyak sekali pertanyaan dalam benakku. Tapi ya sudahlah, toh ini untuk tujuan yang baik, kan? Aku pun memutuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jujur dan sebaik-baiknya. Rekanku di serong kanan belakang tengah mengetuk pulpennya ke meja kayu tersebut. 

 (2  jam kemudian)

Ah, selesai juga. Sekarang kami pun diarahkan ke ruangan wawancara. Aku pun bergegas ke ruang tunggu. Di sana, entah kenapa, suasananya begitu muram. Rekanku sejak dahulu sekarang tengah memasang muka yang sangat marah, seakan-akan integritasnya tengah dipertanyakan, dengan cara yang kurang pantas. Entah juga sih, aku hanya berspekulasi.

"Kepada Ibu Anggraini, dipersilakan," ucap seorang petugas sesaat setelah ia membuka pintu wawancara

Kira-kira apa ya yang akan dipertanyakan? Gumamku dalam benak.

Di ruangan itu, sekali lagi, terasa muram dan dingin. Begitu dingin hingga-hingga seketika bulu kuduk ku berdiri dengan sendirinya. Tanpa komando, tanpa koordinasi.

"Ya, ibu, dipersilakan mengenalkan diri terlebih dahulu," ucap pria berusia paruhbaya itu

"Nama saya Anggraini Prabaningtyas, umur 35 tahun, seorang penyidik," ucapku dengan bangga

Ya, aku sangat bangga menjadi penyidik di komisi yang beritikad baik ini. Bahkan, aku semakin bangga belakangan ketika komisi ini sudah dipandang menakutkan. Tapi, kurang lebih dua tahun silam, sebuah revisi atas undang-undang yang berkaitan dengan komisi ini disahkan. Hal itu menuai banyak protes. Demonstrasi tergelar dimana-mana. Mahasiswa, para aktivis, bahkan masyarakat umum ikut menyuarakan protes mereka. Namun, apadaya, nyatanya regulasi tetap ditekan.

Si pewawancara pun mengeluarkan pertanyaan pertama, "Ibu kan pakai jilbab, kalau disuruh lepas, mau tidak?"

Loh, apa-apaan ini?

Mataku kembali menyipit dengan sendirinya, "Tidak, pak. Ini adalah kewajiban dari agama saya," ucapku tanpa ragu

"Oh, begitu? Berarti ibu egois ya? Lebih mementingkan pribadi daripada negara,"

Aku bisa mengutarakan semua protes yang ada dalam benakku, tapi aku tampaknya tidak lagi memiliki tenaga. Aku sekarang mulai dapat mengartikan ekspresi rekan-rekanku tadi.

"Ibu sudah menikah atau belum?"

"Belum, pak,"

"Oh gitu. Kalau dijadikan istri kedua saya mau gak?"

Hei, hei. Apa-apaan ini?

Aku pun kali ini sedikit marah. Untuk apa mempertanyakan hal seperti itu? Ini uji kebangsaan atau apa sih sebenarnya?

"Tidak, pak,"

"Apakah ibu masih punya hasrat?"

Seketika itu juga aku ingin langsung beranjak dari tempat tersebut. Ini sudah keterlaluan.

"Maaf, kenapa bapak bertanya seperti itu, ya? Dan bukan hanya yang tadi, tapi sebelum-sebelumnya? Untuk keperluan apa?" ucapku dengan nada setenang mungkin

"Ya, saya sih gak tahu. Saya hanya disuruh menanyakan hal ini kepada ibu,"

Aku pun menghela nafas panjang.

"Ada berapa pertanyaan lagi?"

"Sedikit kok, sebentar lagi selesai," ucap pria itu

"Ibu kan orang Islam, apakah ibu mengucapkan selamat hari raya ke umat beragama lain tidak?"

"Iya, saya mengucapkan. Tetapi memangnya kenapa kalau ada yang tidak mengucapkan? Apakah tidak mengucapkan sama dengan t*lib*n?"

Ya, t*lib*n, organisasi Sunni garis keras yang bercokol di Afgh*nist*n. Entah kenapa, dan entah mulai kapan, komisi tempatku bekerja ini diisukan tengah diduduki oleh t*lib*n. Memangnya apa kepentingan t*lib*n dengan komisi yang bertujuan untuk memberantas korupsi, ya? Terlebih lagi, di Indonesia? Untuk apa?

"Ya, sejujurnya saya tidak tahu, bu. Saya sekali lagi hanya menjalankan tugas," ucap pria itu

Aku sebenarnya merasa iba kepadanya. Ya memang pertanyaan daritadi sama sekali tidak masuk akal. Tetapi kan dia bukan si pembuat pertanyaan. Sudahlah, selesaikan saja ini. Toh, mawar itu hitam dan melati itu cokelat, kok. Tidak nyambung, ya? Maaf. Kalian juga akan seperti ini kalau habis ditanyai pertanyaan-pertanyaan cerdas ini.

Pertanyaan terus berlanjut. Semakin aneh, tapi aku semakin mewajarkan. Ya sudahlah, pikirku kala itu. Aku pun telah menyelesaikan tes wawasan kebangsaan ini. Aku pun bergegas keluar dari ruangan dan pulang ke rumah. Aku butuh udara segar. Nampaknya pikiranku kini tengah ada di tahap kekosongan yang diakibatkan oleh keterkejutan atas suatu hal yang kurang masuk akal.

(Satu minggu kemudian)

"51 pegawai K*K telah diberhentikan usai tidak lulus TW*" terdengar suara dari televisi ku di ruang tengah.

Aku menatap televisi dengan tatapan yang kosong. Oh iya, aku termasuk di antara 51 pegawai yang diberhentikan karena ternyata kami tidak cukup berbangsa Indonesia. Entah lah. Aku pun menyandarkan tubuhku ke kursi yang tengah ku duduki.

"Ah, baiknya aku tulis cerita dengan latar dunia distopia, ya?" ucap si mantan pegawai K*K itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun