Catatan: Ini cerpen ya, jadi ini fiksi bukan realita... he he. Saya bukan pegawai KPK. Kalau ada pegawai KPK yang namanya saya gunakan untuk tokoh, berarti itu murni kebetulan.Â
Melihat kekalutan yang tengah melanda komisi beritikad baik tersebut, agaknya tidak adil kalau saya tidak buat cerpen.
Suara ketukan jari yang beradu dengan meja kayu kala itu mengisi pojok-pojok ruangan ujian. Ya, ujian. Kita, yang notabenenya kebanyakan sudah tua, bahkan ada yang sangat tua, seakan-akan terdorong kembali ke masa sebelum bekerja di tempat ini. Aku pun membuka lembar soal yang sedari tadi bertengger di atas meja kayu ini. Baru saja aku membaca bagian pertama, mata ku seolah-olah menyipitkan diri sendiri dan dahi ku tidak mau kalah untuk mengernyitkan diri sendiri.Â
Ya, aku cukup mengerti, sih. Ada beberapa pertanyaan yang seakan ingin mengetahui apakah kita memiliki pandangan yang cenderung rasis. Ada juga pertanyaan yang menanyakan soal nasionalisme dengan pernyataan yang cukup gamblang. Tapi, kenapa ada pernyataan 'saya memiliki masa depan yang suram'l,' ya? Lalu ada 'saya hidup untuk menebus dosa-dosa masa lalu,' ya? Juga ada pernyataan mengenai kaum homosexual. Juga ada beberapa pernyataan yang... tidak masuk akal, mungkin? Apa urusannya semua pernyataan ini dengan taraf kebangsaan, ya?
Oke, pertama-tama, aku memiliki tingkat toleransi atas keanehan yang cukup tinggi. Tapi nampaknya rekan-rekanku tidak begitu. Mereka mulai menggaruk kepala mereka seakan-akan tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Kalau aku? Ya memang aneh, sih. Tadi pun aku menyipitkan mata serta mengernyitkan dahi, kan? Cuma entah kenapa, aku memiliki perasaan bahwa kedepannya akan lebih aneh lagi. Ah, tidak boleh begitu, tidak boleh. Aku harus berprasangka baik. Tidak mungkin kan tes ini dibuat tanpa tujuan yang jelas? Tidak-tidak, tidak mungkin.
Bagian kedua, kita diminta untuk membuat esai untuk beberapa topik. Oh, ya ya, aku mengerti. Pasti untuk mengetahui seberapa nasionalisnya kita, kan? Oke kalau begitu. Eh, tapi kenapa ada beberapa topik yang nampaknya tidak ada urusannya sama kebangsaan, ya? Ah, mungkin untuk memenuhi soal saja, ya?
Banyak sekali pertanyaan dalam benakku. Tapi ya sudahlah, toh ini untuk tujuan yang baik, kan? Aku pun memutuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jujur dan sebaik-baiknya. Rekanku di serong kanan belakang tengah mengetuk pulpennya ke meja kayu tersebut.Â
 (2  jam kemudian)
Ah, selesai juga. Sekarang kami pun diarahkan ke ruangan wawancara. Aku pun bergegas ke ruang tunggu. Di sana, entah kenapa, suasananya begitu muram. Rekanku sejak dahulu sekarang tengah memasang muka yang sangat marah, seakan-akan integritasnya tengah dipertanyakan, dengan cara yang kurang pantas. Entah juga sih, aku hanya berspekulasi.
"Kepada Ibu Anggraini, dipersilakan," ucap seorang petugas sesaat setelah ia membuka pintu wawancara
Kira-kira apa ya yang akan dipertanyakan? Gumamku dalam benak.