"Ibu kan orang Islam, apakah ibu mengucapkan selamat hari raya ke umat beragama lain tidak?"
"Iya, saya mengucapkan. Tetapi memangnya kenapa kalau ada yang tidak mengucapkan? Apakah tidak mengucapkan sama dengan t*lib*n?"
Ya, t*lib*n, organisasi Sunni garis keras yang bercokol di Afgh*nist*n. Entah kenapa, dan entah mulai kapan, komisi tempatku bekerja ini diisukan tengah diduduki oleh t*lib*n. Memangnya apa kepentingan t*lib*n dengan komisi yang bertujuan untuk memberantas korupsi, ya? Terlebih lagi, di Indonesia? Untuk apa?
"Ya, sejujurnya saya tidak tahu, bu. Saya sekali lagi hanya menjalankan tugas," ucap pria itu
Aku sebenarnya merasa iba kepadanya. Ya memang pertanyaan daritadi sama sekali tidak masuk akal. Tetapi kan dia bukan si pembuat pertanyaan. Sudahlah, selesaikan saja ini. Toh, mawar itu hitam dan melati itu cokelat, kok. Tidak nyambung, ya? Maaf. Kalian juga akan seperti ini kalau habis ditanyai pertanyaan-pertanyaan cerdas ini.
Pertanyaan terus berlanjut. Semakin aneh, tapi aku semakin mewajarkan. Ya sudahlah, pikirku kala itu. Aku pun telah menyelesaikan tes wawasan kebangsaan ini. Aku pun bergegas keluar dari ruangan dan pulang ke rumah. Aku butuh udara segar. Nampaknya pikiranku kini tengah ada di tahap kekosongan yang diakibatkan oleh keterkejutan atas suatu hal yang kurang masuk akal.
(Satu minggu kemudian)
"51 pegawai K*K telah diberhentikan usai tidak lulus TW*" terdengar suara dari televisi ku di ruang tengah.
Aku menatap televisi dengan tatapan yang kosong. Oh iya, aku termasuk di antara 51 pegawai yang diberhentikan karena ternyata kami tidak cukup berbangsa Indonesia. Entah lah. Aku pun menyandarkan tubuhku ke kursi yang tengah ku duduki.
"Ah, baiknya aku tulis cerita dengan latar dunia distopia, ya?" ucap si mantan pegawai K*K itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H