Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buka Bersama Bu Benny

26 Mei 2019   06:58 Diperbarui: 26 Mei 2019   08:32 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Minggu Pagi 94

Bu Benny tetanggaku ketika masih di Semarang. Wanita yang masih tampak cantik dengan selalu berkebaya itu menelpon dan mengajak untuk buka bersama di sebuah tempat yang belum pernah kami jadikan tempat pertemuan.

"Tempatnya asyik, ada danaunya," katanya meyakinkan.  "Ini akan mengingatan njenengan, Dik."

Di mana tempat makan yang ada danaunya di Jakarta? Sedikit ingatanku akan tempat mengudap yang tak biasa. Mungkin di sekitar Jakarta Timur. Cibubur. Seingatku, itulah tempat yang dimaksud. Itu tak jauh dari rumahku yang berada di bilangan Jati Asih.

"Oh, bukan," tegas Bu Benny ketika aku menyebutkan tempat yang ditawarkan itu.

"Pokoknya, nanti Dik Ning aku jemput. Di pintu tol Jati Asih."

Tak apalah. Hitung-hitung sebagai sebuah acara selingan. Karena sudah setengah bulan lebih, aku disibukkan dengan urusan rumah. Jangan lagi acara buka bersama, dari siapa pun yang mengajak atau mengundang. Puasa di rumah dan mengurus cucu sejak dititipi cucu pagi hari hingga matahari surup. Sedangkan acara buka bersama Bu Benny itu diadakan pada hari Sabtu. Di mana cucu akan diurus ibunya, anakku yang libur kerja.

Aku menunggu di pintu tol Jati Asih, tak jauh dari Kantor Jasa Marga. Diantar oleh anakku dengan sepeda motor dari arah belakang pintu tol yang tampak dari rumahku.

"Bu Benny ngerti saja mencari tempat acara berbuka bersama," aku membatin. Tempat yang disebutnya akan mengingatkanku. Di mana? Ah, ya di Semarang barat menuju Kaliwungu. Tempat di tikungan yang tak terlalu ramai, ketika jalan tol Jawa belum jadi.

Di mana di dekat kasir ada kelompok pengamen khusus dengan lagu-lagu Jawa, keroncong dan campursari. Pada siang, menggenapi acara makan di tempat dengan danau seperti itu.

Lampu sebuah mobil dijadikan kode. Tapi sebuah mobil mewah warna merah yang bukan mobil Bu Benny. Ah, jangan-jangan mobil barunya. Bu Benny yang dinikahi oleh seorang lelaki baik dan kalem, Benny Ramdhon. Ia sendiri bernama Ratri Kusumaningrum. Dulu, aku memanggilnya Ratri.

"Selamat sore, Dik Ning," Bu Benny menjulurkan kepala ketika kaca mobil diturunkan.

"Sore...," sahutku. Dan bergegas ke pintu belakang mobil merah itu, mengikuti arahan Bu Benny. Pintu terbuka sebelum aku menggapainya. Lalu dari arah dalam, terdengar suara orang bersalam. Suaranya bariton. Khas.

"Selamat sore, Dik Ning."

Aku mengernyitkan kening spontan. Apa-apaan ini?

"Ayo, masuklah, Dik Ning," kata Bu Benny mengingatkan. Karena ada bunyi klakson dari arah belakang.

Mobil berjalan dengan halus. Mesinnya terasa sangat lembut. Goyangan tak terasa. Kecuali debar jantungku. Berdetak-detak dan ingin kuatur agar tidak bergoyang terlalu keras. Tak menimbulkan rasa nyeri.

"Kita ke arah mana, Bu Benny?" tanyaku. Itu pertanyaan paling tepat karena mobil tidak membelok ke arah Bumi Perkemahan Cibubur. Meski sudah disebutkan Bu Benny jika acara buka bersamanya itu bukan di Cibubur.

"Serpong."

"Serpong?"

"Ya, Dik Ning," lelaki di sampingku yang menjawab. Aku menghela nafas. Ini sebuah persekongkolan yang sudah diatur dengan apik. Antara Bu Benny dengannya. Lelaki ....

Kalau aku membuka pintu mobil dan meloncat, tidak lucu. Cucuku siapa yang akan menjagainya. Dan, itu tindakan konyol. Namun mobil mewah tak membawaku tenang juga, bahkan terasa gerah. Sekitar leher berpeluh, kuusap dengan pelan. Sambil berpikir keras. Bagaimana menyelesaikan sebuah acara buka bersama kali pertama dalam bulan puasa kali ini.

"Aku ditugaskan di Jakarta. Baru seminggu ini," jelas lelaki yang tak kuharapkan itu. Mengagetkan dan membuat goncangan lebih hebat di dalam dada.

Aku diam.

"Dan Mas Bambang, tanya kepadaku tentang Dik Ning. Aku sebutkan saja," suara Bu Benny, seperti ada rasa penyesalan mendalam. Demi aku yang jelas menyahut pendek-pendek dan dengan suara tidak tenang seperti biasanya.

"Jadi, akulah yang berinisiatif untuk acara buka bersama ini...."

"Sebuah rencana jahat!"

"Rencana jahat?" Bambang mengulang dengan pertanyaan dan nada meninggi.

"Ya."

"Jahatnya?"

Bu Benny adik lelaki di sampingku yang samar-samar kudengar sukses sebagai pejabat di Kalimantan Timur itu mengelus rambutnya. Rambut yang pernah kuusap di Taman Lele, Semarang Barat. Tempat yang tak jauh dari restoran berdanau di tikungan jalan. Yang selalu teduh walau Semarang yang panas sekalipun tanpa mengenal waktu. Termasuk sore baru beranjak dari siang  itu. 

"Aku sekolah ke luar negeri, tiga tahunan. Karena ada bea siswa. Sabarlah menunggu, ya Ning?" pintanya saat ia menyandarkan kepala berambut hitam legam itu.

Dan itulah pertemuan terakhir dengan Bambang yang kupanggil Mas. Lelaki yang terpaut empat tahun denganku. Satu tahun lebih tua dari Bu Benny, temanku sekelas di Undip dengan mengambil Sastra Indonesia.

"Aku ternyata dijebak," katanya sambil mencoba menuntunku saat turun dari mobil milik Bambang. Lalu mengalirlah kisah seperti dalam sinetron masa kini. Yakni Bambang yang dijadikan adik ipar dengan menikahi adik wanitanya. Orang yang memberinya bea siswa ke UK. Seorang pejabat di lingkungan ibukota Jawa Tengah. "Aku kan mahasiswa miskin. Bisa kuliah sampai ke London karena jasanya. Dan aku Jawa...."

Aku menelan ludah. Membiarkan ia mengelus punggung tanganku, dan tak kunjung masuk ke dalam lingkungan resto suasana pedesaan itu. Di mana Bu Benny bergegas beralasan memesan menu makanan untuk acara berbuka bersama di resto dengan bangunan bambu dikelilingi danau. Tenang dan nyaman pada sore yang terang.

"Mas Bambang pengecut."

"Sebutlah begitu."

"Jahat."

"Itu lebih tepat. Jatuh hati padamu, dan tidak berani mengelak dari sebuah jebakan. Karena aku orang Jawa miskin ...."

"Saat itu."

"Sekarang juga."

Teleponku berbunyi. Aku memencetnya, dan menjauh dari Bambang.

"Ayo, masuklah, Ning," sebuah suara lembut. 

"Masuk ke mana?"

"Ya, dari tempatmu berdiri dengan Mas Bambang. Ini sebuah rencana matang Bukber dari Mas Bambang. Dia temanku sekampung. Aku tak pernah bercerita kepadamu. Maaf," ujarnya tenang seperti biasa. menyejukkan. mengayomi.

Aku meninggikan leher. Agar bisa melihat ke dalam. Mencari suara Mas Idris.

"Iniii ....aku. Bersama Bu Benny!" lambai seorang lelaki yang telah memberiku anak, dan kemudian anaknya melahirkan cucu yang tiap hari menjadi hiburan bagi seorang wanita yang menjadi MC, Momong Cucu. Sehari-harinya.

***

AP, 26/4/2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun