Dan itulah pertemuan terakhir dengan Bambang yang kupanggil Mas. Lelaki yang terpaut empat tahun denganku. Satu tahun lebih tua dari Bu Benny, temanku sekelas di Undip dengan mengambil Sastra Indonesia.
"Aku ternyata dijebak," katanya sambil mencoba menuntunku saat turun dari mobil milik Bambang. Lalu mengalirlah kisah seperti dalam sinetron masa kini. Yakni Bambang yang dijadikan adik ipar dengan menikahi adik wanitanya. Orang yang memberinya bea siswa ke UK. Seorang pejabat di lingkungan ibukota Jawa Tengah. "Aku kan mahasiswa miskin. Bisa kuliah sampai ke London karena jasanya. Dan aku Jawa...."
Aku menelan ludah. Membiarkan ia mengelus punggung tanganku, dan tak kunjung masuk ke dalam lingkungan resto suasana pedesaan itu. Di mana Bu Benny bergegas beralasan memesan menu makanan untuk acara berbuka bersama di resto dengan bangunan bambu dikelilingi danau. Tenang dan nyaman pada sore yang terang.
"Mas Bambang pengecut."
"Sebutlah begitu."
"Jahat."
"Itu lebih tepat. Jatuh hati padamu, dan tidak berani mengelak dari sebuah jebakan. Karena aku orang Jawa miskin ...."
"Saat itu."
"Sekarang juga."
Teleponku berbunyi. Aku memencetnya, dan menjauh dari Bambang.
"Ayo, masuklah, Ning," sebuah suara lembut.Â