Kalau aku membuka pintu mobil dan meloncat, tidak lucu. Cucuku siapa yang akan menjagainya. Dan, itu tindakan konyol. Namun mobil mewah tak membawaku tenang juga, bahkan terasa gerah. Sekitar leher berpeluh, kuusap dengan pelan. Sambil berpikir keras. Bagaimana menyelesaikan sebuah acara buka bersama kali pertama dalam bulan puasa kali ini.
"Aku ditugaskan di Jakarta. Baru seminggu ini," jelas lelaki yang tak kuharapkan itu. Mengagetkan dan membuat goncangan lebih hebat di dalam dada.
Aku diam.
"Dan Mas Bambang, tanya kepadaku tentang Dik Ning. Aku sebutkan saja," suara Bu Benny, seperti ada rasa penyesalan mendalam. Demi aku yang jelas menyahut pendek-pendek dan dengan suara tidak tenang seperti biasanya.
"Jadi, akulah yang berinisiatif untuk acara buka bersama ini...."
"Sebuah rencana jahat!"
"Rencana jahat?" Bambang mengulang dengan pertanyaan dan nada meninggi.
"Ya."
"Jahatnya?"
Bu Benny adik lelaki di sampingku yang samar-samar kudengar sukses sebagai pejabat di Kalimantan Timur itu mengelus rambutnya. Rambut yang pernah kuusap di Taman Lele, Semarang Barat. Tempat yang tak jauh dari restoran berdanau di tikungan jalan. Yang selalu teduh walau Semarang yang panas sekalipun tanpa mengenal waktu. Termasuk sore baru beranjak dari siang  itu.Â
"Aku sekolah ke luar negeri, tiga tahunan. Karena ada bea siswa. Sabarlah menunggu, ya Ning?" pintanya saat ia menyandarkan kepala berambut hitam legam itu.