"Buka, deh."
Gadis itu mengelap sekitar kelopak matanya. Pelan-pelan, ia menyobek pembungkusnya. Lalu ditariknya di bagian tas. Sebuah buku.
"Abuya Dimyati dari Pandeglang sini. Yang kauceritakan. Dan aku sudah membacanya." Prapti tersenyum. "Sengaja saya copykan untukmu."
"Kak Prapti dapat dari?"
"Ya, dari Belanda. Waktu liburan kemarin, saat melihat tsunami di sini dan sekitarnya dari berita di online."
Iis memeluk buku yang hanya copy-an itu. Buku yang isinya sama seperti yang ia baca, dan entah apa masih tersimpan baik di masjid di Labuan tak jauh dari rumahnya.
Pertemuan dua hati anak-anak disaksikan ibu masing-masing. Ibu Prapti dari dalam mobil yang menahan tangis. Dan emak Iis yang pernah diceritai anaknya yang menjual mie instan dengan harga seperti pesannya. Tidak dimahalkan. Meski  kepada orang baru atau orang kota yang datang dan membeli dagangannya. Di pantai indah yang hari-hari itu masih sepi dan masih belum bersih.
"Persahabatanmu dengan teman barumu itu lebih berharga Iis. Daripada duka apa yang menimpa kita," bisik Emak.
***