Ia malah menarik kendaraannya ke belakang.
"Bang!" suaranya melirih.
Aku diam. Tak mengerti harus berkata apa. Suara itu tak seperti tadi menyengat dan bisa dibilang menghardik.
"Abang seperti tidak sehat." Ia sudah mengulurkan tangan.
Aku menerima dengan takjub. Namun tak mampu mengelakkan ia mendekapku. Sejenak.
"Nitaaaa ...!
Lehernya seperti naik-turun.
"Abang sehat?"ia menegaskan. "Kita minum es kelapa saja dulu."
Aku menurut. Menuntun sepeda motor tua, dan menepi di sebuah meja sederhana penjual es kelapa muda.
Nita dengan gegas memesan dua buah es kelapa utuh. Kelapa yang bagiannya atasnya dipapras, lalu dicemplungi batu es dan diberi sedikit gula putih cair.
"Abang mau ke mana?"