Cerita Minggu Pagi 57
                             Â
Baju pengantin telah kutanggalkan dini hari
Jenuh awan yang kelabu berakhir di ujung hujan*
Pedih mata memandang sekeliling jalan yang kulalui sepanjang siang belum matahari di kulminasinya, padahal. Motor yang kukendarai bagai tak berujung. Terus dan terus berebut dengan sinar yang berderang di entah berapa derajat Celsius. Namun aku menuruti ketika di lampu merah dan menyala, dan berhenti sambil tengok-tengok barangkali ada yang bisa menyejukkan retina untuk sekejap.
Tak.
Aku kembali menangkupkan pelindung kepala, dan sekali menghela nafas bersamaan dengan gigi satu kutekan. Ah, motor tua. Bunyi gemeretuk pun masih terdengar ditiban sebuah klakson yang mesih masuk ke telingaku.
"Meleeeeng!"
Kusebut saja Tuhan. Karena antara jengkel menahan amarah sekaligus aku mengutuk diri. Salah, memang. Dan aku menepi sembari menaikkan helm.
Pengendara dengan suaranya me-meleng-kanku, menepi juga. Dan membuka helm cakilnya.
"Apa lagi?" gumamku.
Ia malah menarik kendaraannya ke belakang.
"Bang!" suaranya melirih.
Aku diam. Tak mengerti harus berkata apa. Suara itu tak seperti tadi menyengat dan bisa dibilang menghardik.
"Abang seperti tidak sehat." Ia sudah mengulurkan tangan.
Aku menerima dengan takjub. Namun tak mampu mengelakkan ia mendekapku. Sejenak.
"Nitaaaa ...!
Lehernya seperti naik-turun.
"Abang sehat?"ia menegaskan. "Kita minum es kelapa saja dulu."
Aku menurut. Menuntun sepeda motor tua, dan menepi di sebuah meja sederhana penjual es kelapa muda.
Nita dengan gegas memesan dua buah es kelapa utuh. Kelapa yang bagiannya atasnya dipapras, lalu dicemplungi batu es dan diberi sedikit gula putih cair.
"Abang mau ke mana?"
Aku tak menjawab pertanyaan sederhana itu.
"Mau pulang?"
Aku menggeleng.
"Trus?"
"Nita mau ke mana?"
Ia tersenyum.
"Abang belum menjawab pertanyaanku."
Aku menghena nafas, dan mencoba tersenyum. "Kamu pun juga."
Berdua kami menyedot air kelapa yang sudah dingin dan manis.
"Ini pernah kita lewati ...."
Aku tersenyum.
"Seriiiing."
Nita tertawa.
"Duluuu sekali."
"Bukan zaman now."
Ia menepuk pundakku dengan tangan kirinya. Nyes.
"Abang tampak ringkih."
"Dan rapuh. Nyaris kaumakan dengan sepeda motor besarmu."
Nita terdiam.
"Itu motor yang Abang berikan kepadaku."
Aku mengernyitkan kening. Tak percaya. Jika itu sepeda motor satu-satunya sebelum kami berpisah. Motor yang membuat aku dan Nita berjalan ke mana saja. Kapan saja. Mencari jalan sunyi. Berhenti di tepi pantai, atau di tepi jalan di mana ada penjual kelapa muda.
"Abang suka benar es."
"Untuk mengimbangi ledakan-ledakan yang ada di dalam dadaku."
"Kecuali?"
Aku tersenyum. Seperti ingat persis perbincangan itu. Zaman dulu sekali. Ketika aku bisa memboncengkan gadis berambut panjang dibiarkan terurai ditiup angin ketika keadaan memungkinkan, berjalan di jalan sepi. Merambah entah di mana.
"Kau masih cantik, Nit."
"Meski rapuh."
Aku mendesah.
"Benar, Bang."ia menegaskan.
Aku mengulurkan tangan. Dan menepuk-nepuk pundaknya.
Lama kami saling diam. Hanya sesekali menyedot air kelapa. Aku dan Nita.
Lamat-lamat, kudengar lagu dari radio kecil penjual es kelapa di tepi jalan itu.
"Ini lagu lama dinyanyikan oleh penyanyi legenda dan sedang difilmkan. Chrisye...."kata penyiar dengan suara renyah seperti rengginang.
Â
Jangan kau biarkan bila kekasih menutup pintu*
Aku bangkit. Dan membayari es kelapa yang sesungguhnya dipesan Nita. Sebagai lelaki, aku mesti yang membayari. Seperti kelaziman lelaki kepada wanita yang dicintainya. Sebagai sebuah pertanggungjawaban. Meski bukan untuk saat ini, dan beberapa tahun ini. Sejak perpisahan itu.
"Abang mau ke mana?"
***
AP, 10/12/17
- *lagu dalam Badai Pasti Berlalu  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H