"Kok."
"Karena aku sedang menunggu mojang ideal dan aku berhenti di pelabuhan, di sini. Di dermaga, kita memulai sebagai pertemuan hati. Seperti sepotong senja di pelabuhan penyair terkenal. Chairil Anwar."
Aku diam saja. Ketika tanganku dituntun, dan kemudian pantat bulatku parkir di lembaran plastik yang dibentangkan di jalan yang kiri-kanannya berjajar pohon tua.
"Dua, Teh."
Lalu datang dua piring rotan dengan sebungkus nasi daun pisang. Di kiri-kanannya berjajar ikan, tempe goreng, dan sambal selain daun sayur-mayur segar. Peyek terbungkus plastik, ada.
"Ini makanan sehat. Khusus untuk orang-orang seperti Ra, seorang mojang yang akan menyuapiku suatu saat."
"Ih!"
Ia tertawa.
"Maaf. Nikmati saja dulu. Bismillah ...."
Aku mengulang kata-kata sakti itu: bismillah.
***