"Kita ke mana?"
"Kita ke mana? Tak perlu ke mana-mana pun lebih dari cukup."
"Lebih dari cukup. Duduk-duduk begini? Di tepian jalan, di trotoar."
Ia tak menjawab. Namun berdiri, dan berjalan menuju ke kanan. Aku melihat punggungnya yang kukuh. Rambutnya yang ... hm, indah. Walau agak gondrong. Bokongnya, apalagi. Memperlihatkan seorang. Ah!
"Dengan sepotong es krim ... kurasa dunia Minggu pagi ini lebih indah." Ia menyodorkan es berwarna pink.
Aku menerimanya.
"Ayo, mulai." Ia seperti memberi komando. Agar aku menjilati lumeran es krim yang menantang itu. Kalimatnya aneh, dan tidak biasa. Ah, aneh yang tak biasa. Itu yang menarik darinya: Toro.
Toro, lengkapnya Kustoro Mangkudilaga. Kukenal tersebab ia menerakan kata secara apik menjadi sebuah kalimat dan ujungnya cerita menghanyutkan. Banyak, terutama, kepada para wanita. Termasuk aku yang kemudian berkubang di dalamnya. Lalu, ini anehnya, aku suka jeles kalau ada yang mencoba mendekatinya dengan bahasa-bahasa wanita baik-baik. "Aku pun mencoba seperti itu."
"Wanita kadang aneh."
Aku yang akan menjilati ujung es krim, menghentikan.
"Lanjutkan dulu jilatannya."