Ia mengikik, dan tanpa menunggu jawaban, ia duduk di sampingku. Aku tak menggeser dudukku. Namun ia justru mendekatiku dengan menggeser pantatnya yang entah sebesar apa, karena belum kuperhatikan.
"Bandung hari ini dingin. Suhu, menurut efbe yang mengabarkan di hape Rere, delapan belas derajat selsius."
"Artinya?"
"Abang perlu kehangatan."
"Dari?"
Ia melingkarkan tangan. Menggamit lengan kananku. Persis kalau Ane jalan di sampingku, dan aku berada di sisi kanan kalau kami menyusuri trotoar. Seorang lelaki itu mesti seperti itu: ksatria. Melindungi wanita, katanya. Biasanya dibarengi dengan menyenderkan kepalanya untuk melengkapi ia bermanja.
"Jangan sungkan-sungkan atuh...."
Aku menelan ludah. Bidadari dari mana sebenarnya Rere ini. Mana mungkin kutolaknya. Termasuk ketika kepalanya disandarkan, persis gerakan Ane kalau rambutnya ingin kuusap-usap.
Kali ini aku tak melakukan itu. Kubiarkan ia diam. Rere rupanya cepat tanggap. "Abang nggak romantis, ih."
Aku tertawa kecil.
"Kamu saja ...."