Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bandung Pagi Ini

27 Agustus 2017   10:11 Diperbarui: 27 Agustus 2017   14:11 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita Minggu Pagi 44

Kota ini disapa angin pagi. Semripit. Seperti pagi ini, ketika ke luar dari kamar hotel lantai enam, mungkin sebagian masih ngelindur dan memeluk pasangannya.  Aku tidak. Aku memeluk tubuhku sendiri, duduk di bangku putih menyerupai huruf L tak sempurna.

Kutenggak air mineral yang kubeli dari mini market dua puluh empat jam. Sesekali menggerung mesin kendaraan, roda dua atau empat. Yang membuatku menahan dingin melihat mereka bersepeda motor, yang di belakang memeluk perut si pengendara. Dari ujung bawah helm si pemeluk perut itu mengurai rambut panjang, "Mariane...."

Tak juga membuatku gegas balik ke hotel. Karena tak ada Ane di kamar itu. Atau siapa pun makhluk berkaum hawa yang acap disebutnya punya dua mulut. Termasuk istilah Ane kalau sedang berseloroh. "Itu kelebihan dari lalaki, Bang."

Aku tak punya kelebihan apa-apa. Sekarang. Duduk di bangku putih dan bola-bola beton sisa-sisa konperensi Asia-Afrika itu. Di mana siang hingga sore kemarin Bandung menjadi Lautan Manusia untuk sebuah acara karnaval. Aku di antara jejalan itu, dan tidak dengan siapa-siapa. Hanya kelebatan wanita-wanita bergaya dengan memotret diri sendiri. Atau melintas sebra cross, dan meniru John Lenon, Ringgo Star, Paul Mc Cartney dan George Horison di Inggris sana dalam foto yang mendunia.

Jalan di depanku, kini melintang garis. Lengang. Dan dingin masih menyergap lewat angin pagi. Kupandangi. Siapa tahu ada makhluk bermulut dua, berambut panjang dari arah depan menghampiriku.

"Boleh Rere duduk di sisi Anda?"

Aku mendongakkan kepala. Bersirobok dengan sebuah wajah cantik nyaris sempurna. Mata bening, hidung tinggi, alis tebal dan sepasang bibir tebal, barangkali kelebihan ia dari Mariane. Tak juga rambutnya yang cukup panjang dan tebal.

"Anda Rere ...."

"Iya, Bang." Ia mengubah sebutan diriku.

"Untuk apa ingin duduk di sisiku."

Ia mengikik, dan tanpa menunggu jawaban, ia duduk di sampingku. Aku tak menggeser dudukku. Namun ia justru mendekatiku dengan menggeser pantatnya yang entah sebesar apa, karena belum kuperhatikan.

"Bandung hari ini dingin. Suhu, menurut efbe yang mengabarkan di hape Rere, delapan belas derajat selsius."

"Artinya?"

"Abang perlu kehangatan."

"Dari?"

Ia melingkarkan tangan. Menggamit lengan kananku. Persis kalau Ane jalan di sampingku, dan aku berada di sisi kanan kalau kami menyusuri trotoar. Seorang lelaki itu mesti seperti itu: ksatria. Melindungi wanita, katanya. Biasanya dibarengi dengan menyenderkan kepalanya untuk melengkapi ia bermanja.

"Jangan sungkan-sungkan atuh...."

Aku menelan ludah. Bidadari dari mana sebenarnya Rere ini. Mana mungkin kutolaknya. Termasuk ketika kepalanya disandarkan, persis gerakan Ane kalau rambutnya ingin kuusap-usap.

Kali ini aku tak melakukan itu. Kubiarkan ia diam. Rere rupanya cepat tanggap. "Abang nggak romantis, ih."

Aku tertawa kecil.

"Kamu saja ...."

"Baik." Dan ia menggamit lenganku lebih erat. "Kalau ini membuat Abang jadi hangat. Tapi jangan menciumku."

Aku mengernyitkan kening.

"Kenapa?"

"Mulut abang sepertinya baru mengudap ayam goreng."

Tawaku cukup kencang. Setidaknya menguncang jalan besar kota yang pagi ini sedang dingin seperti yang disebutkan Rere dari fb yang mampir ke hapenya.

"Taunya?"

"Ah, masak sih Re sukanya sama wanita."

"Tadi makanku paha ayam itu pake sambal nggak?"

"Itu urusan lalaki. Ini di tanah Pasundan, Abang."

Aku manggut-manggut. Dan aku menggoda. "Apa hubungannya?"

"Di sini, orang suka lalapan. Apalagi kalau makannya di warung Sunda seperti depan terminal bis ...."

"Leuwi Panjang...."

"Nah!" Rere menjentikkan jarinya. "Sekarang boleh Rere yang mencium, Abang?"

Aku diam.

"Biar lebih hangat,"  Rere seperti meminta izin. "Boleh?"

Aku menepuk keningku.

"Nggak usah mikir."

"Gratis?" aku pengin mengajukan pertanyaan. Tapi kuurungkan.

"Siap?"

Ia mengelap mulutku dengan jemarinya yang terbilang tak terlalu lentik. Aku memejamkan mata. Dan ...Rere menunaikan tugasnya dengan sempurna. Pada Parisj van Java sepagi ini...

*** 

Bandung, 28/7/17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun