Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali ke Jogja

7 Mei 2017   06:05 Diperbarui: 7 Mei 2017   07:27 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Minggu Pagi 28

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan

Sayang engkau tak duduk di sampingku sayang

“Banyak cerita yang mestinya ingin kuungkapkan,” desisku. Banyak lagi yang akan kuutarakan sebelum tiba di selatan Selatan Semarang itu. Di Jogja, ah begitu ngelangut aku bila mengingatmu. Seperti kalau Katon menembangkan Jogjakarta: pulangkekotamu. Masih seperti dulukah sudut-sudut dengan makna akan nostalgi kita?

Aku duduk di bangku sisi kiri, memandang ke luar jendela. Sawah beterbangan antara hijau dan kuning bak lukisan naturalis khas tanah Jawa. Di Pantura yang dilintasi kereta tak ada gunung. Bias matahari pagi seperti menjauhkan aku denganmu.

“Kita akan ketemu lagi bila Bang Sam sudah yakin akan pilihanmu pada seorang gadis ....”

“Kenapa begitu pertanyaanmu?”

Memange?”

“Ya kita kembali ketemu di Jogja, Re.”

Aku tak bisa memaksa Reni Wahyuningtias meski sudah yakin telah menggenggam hatinya. Bukankah ketika ia mengecup keningku ketika ulang tahun sebagai pertanda? Atau kurang? Tak. Aku mengerti apa arti seorang Re seorang gadis Jawa yang menjaga adat ketimuran dengan rambut panjangnya diurai khas orang jadul. Gadis yang diakuinya sendiri tak mungkin menyisir rambutnya di depan umum. Orailok, tak elok seorang wanita merias darurat di banyak pasang mata memelototinya. Ah, itu sebuah adat yang mulai sirna. Namun tidak baginya, seorang yang mengambil sastra Jawa diperguruan tinggi paling terkenal di Kota Pelajar. Sementara aku orang realis dari sebrang.

Senja mendekati Jogja ketika matahari memerah di punggungku saat kereta menikung di Purworejo. Sebuah keinginan yang belum terwujud. Sisi ruang batinku yang merindu terus ke Re. Merengkuh sukmanya kembali sebelum perpisahan yang begitu datar tapi meremukkan hatiku. “Tak mungkin karena ia ke lain hati,” bantahku.

Tas punggung merah hati seperti membebaniku ketika berdiri di Stasiun Tugu. Aku berdiri seperti lelaki asing di sini. Hanya untuk mencari Re yang dulu dengan senang hati menjemputku dengan sepeda motor bebeknya: Honda 70-an.

“Sayang kalau untuk ongkos naik becak.”

“Kan aku bisa jalan kaki.”

“Terlalu jauh ke kosmu.”

Aku tertawa. Sebenarnya ia ingin mengatakan, kalau aku perantau kere dari seberang Jogja yang belajar untuk memenuhi permintaan orangtua. Lalu bertemu dengan seorang Re yang khas Jawa, persisnya orang Jogja yang senang membiarkan rambutnya memanjang.

Lalu aku memboncengkan Re di sadel yang tinggal sedikit untuk pantatnya yang bulat dalam berbagi dengan tubuhku yang tak bisa dibilang kecil. Sehingga motor ala dokter merah itu mesti menanggung beban dua tubuh yang menyatu dalam satu hati.

“Ke Lempuyangan jadi seperti dekat,” kataku dalam hati. Itu dulu. Sekarang? Entah. Aku masih mematung di pelataran Stasiun Tugu.

“Becak, Mas?”

Aku menoleh, lalu mengangguk mesti itu sebuah penolakan halus kepada orng-orang yang masih menarik becak dengan genjotan kakinya. Sebagian sudah dengan mesin sepeda motor untuk mengantar siapa saja. Termasuk kepada turis berkulit putih, yang sebagian masih lebih senang dengan sensasi genjotan dengan nafas kehidupan khas Jogja.

“Ke Prawirotaman, kan?” kejar penarik becak sudah berumur itu.

“Nek yo?”

Nggihmbotenawis. Biasa kemawon.” Ya tak mahal ongkosnya. Biasa saja.

Sekali tarikan nafas, aku mengiyakan dan dalam sekejap sudah duduk di jok becak bergambar punokawan itu: Semar-Gareng-Petruk. Aku sekarang sudah mampu untuk membayar naik becak, Re. Ya, Re di mana kau. Ke mana aku akan menemuimu.

Membelah Malioboro pada hari tak seramai hari-hari libur sekolah, aku mencari-cari wajah Re. Dan berharap bertemu. Karena ia sudah tak berkabar di mana setelah perpisahan dulu. Bahkan ia hanya sekali mengabari, kalau rumah orangtuanya di Patangpuluhan sudah dijual setelah ayahnya yang keras menantangku itu meninggal. “Kecuali motor honda tua.”

Ah, begitu nelangsanya aku. Eh, kamu Re. Tapi kenapa kamu bersikukuh tak menungguku? Bahkan seperti mengusirku. Tak ingin ada lagi pertemuan kita. Hati kita.

Sugengsonten, Ted ....” sebuah sapaan ketika becak berhenti saat ada orang menyeberang. Suara yang sedang kucari-cari. Suara yang sudah lama sekali tak kudengar. Suara yang begitu tenang. Suara .....

“Re ....”

Piyekabare?”

Aku loncat turun dari becak. Tas merah hati kuambil dan kusodorkan uang kepada abang penarik becak.

“Ted ... yang mbonceng.”

“Ra pantes. Mosok laki-laki mbonceng wong wedok ayu.” Tak pantas seorang wanita cantik memboncengkan laki-laki keras sepertiku.

Re pun menggeser ke belakang setelah menerima tasku.

“Gimana kau bisa menemukanku?” aku mengendarai sepeda motor itu pelan mesti angin sore tetap mampu meriapkan rambutku yang segitu-seigtu dari dulu.

“Kok masih nggondrong saja?”

“Sebelum naik ke pelaminan denganmu dan mesti cukur sebagaimana kebiasaan adat Jawa.”

Ada tawa yang sayup. Ah, tawa yang terukur.

“Jadi, kita bisa naik ke pelaminan?”

Tak ada jawaban. Kecuali sepasang lengannya melingkar ke perutku, dan kepalanya disenderkan ke punggungku.

“Kenapa aku mesti menunggumu lama?”

“Gak usah ditanyakan. Re sendiri ya penginnya tidak melalui jalan panjang seperti ini,” ungkap Reni ketika aku mampir ke pojokan dan memesan mie rebus langganan kami sekian waktu lalu.

Kalau jodoh, memang tak ke mana. Meski aku telah memperjuangkan secara habis-habisan. Hanya karena aku orang seberang, dan Re Jawa, Jogja.

“Motor itu menjadi saksi kita ....”

Aku menangkupi punggung tangannya. Re melirik ke arahku. Berdua tersenyum di rembang petang Jogja.

***    

AP, 7/5 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun