“Gimana kau bisa menemukanku?” aku mengendarai sepeda motor itu pelan mesti angin sore tetap mampu meriapkan rambutku yang segitu-seigtu dari dulu.
“Kok masih nggondrong saja?”
“Sebelum naik ke pelaminan denganmu dan mesti cukur sebagaimana kebiasaan adat Jawa.”
Ada tawa yang sayup. Ah, tawa yang terukur.
“Jadi, kita bisa naik ke pelaminan?”
Tak ada jawaban. Kecuali sepasang lengannya melingkar ke perutku, dan kepalanya disenderkan ke punggungku.
“Kenapa aku mesti menunggumu lama?”
“Gak usah ditanyakan. Re sendiri ya penginnya tidak melalui jalan panjang seperti ini,” ungkap Reni ketika aku mampir ke pojokan dan memesan mie rebus langganan kami sekian waktu lalu.
Kalau jodoh, memang tak ke mana. Meski aku telah memperjuangkan secara habis-habisan. Hanya karena aku orang seberang, dan Re Jawa, Jogja.
“Motor itu menjadi saksi kita ....”
Aku menangkupi punggung tangannya. Re melirik ke arahku. Berdua tersenyum di rembang petang Jogja.