“Nggihmbotenawis. Biasa kemawon.” Ya tak mahal ongkosnya. Biasa saja.
Sekali tarikan nafas, aku mengiyakan dan dalam sekejap sudah duduk di jok becak bergambar punokawan itu: Semar-Gareng-Petruk. Aku sekarang sudah mampu untuk membayar naik becak, Re. Ya, Re di mana kau. Ke mana aku akan menemuimu.
Membelah Malioboro pada hari tak seramai hari-hari libur sekolah, aku mencari-cari wajah Re. Dan berharap bertemu. Karena ia sudah tak berkabar di mana setelah perpisahan dulu. Bahkan ia hanya sekali mengabari, kalau rumah orangtuanya di Patangpuluhan sudah dijual setelah ayahnya yang keras menantangku itu meninggal. “Kecuali motor honda tua.”
Ah, begitu nelangsanya aku. Eh, kamu Re. Tapi kenapa kamu bersikukuh tak menungguku? Bahkan seperti mengusirku. Tak ingin ada lagi pertemuan kita. Hati kita.
“Sugengsonten, Ted ....” sebuah sapaan ketika becak berhenti saat ada orang menyeberang. Suara yang sedang kucari-cari. Suara yang sudah lama sekali tak kudengar. Suara yang begitu tenang. Suara .....
“Re ....”
“Piyekabare?”
Aku loncat turun dari becak. Tas merah hati kuambil dan kusodorkan uang kepada abang penarik becak.
“Ted ... yang mbonceng.”
“Ra pantes. Mosok laki-laki mbonceng wong wedok ayu.” Tak pantas seorang wanita cantik memboncengkan laki-laki keras sepertiku.
Re pun menggeser ke belakang setelah menerima tasku.