Tas punggung merah hati seperti membebaniku ketika berdiri di Stasiun Tugu. Aku berdiri seperti lelaki asing di sini. Hanya untuk mencari Re yang dulu dengan senang hati menjemputku dengan sepeda motor bebeknya: Honda 70-an.
“Sayang kalau untuk ongkos naik becak.”
“Kan aku bisa jalan kaki.”
“Terlalu jauh ke kosmu.”
Aku tertawa. Sebenarnya ia ingin mengatakan, kalau aku perantau kere dari seberang Jogja yang belajar untuk memenuhi permintaan orangtua. Lalu bertemu dengan seorang Re yang khas Jawa, persisnya orang Jogja yang senang membiarkan rambutnya memanjang.
Lalu aku memboncengkan Re di sadel yang tinggal sedikit untuk pantatnya yang bulat dalam berbagi dengan tubuhku yang tak bisa dibilang kecil. Sehingga motor ala dokter merah itu mesti menanggung beban dua tubuh yang menyatu dalam satu hati.
“Ke Lempuyangan jadi seperti dekat,” kataku dalam hati. Itu dulu. Sekarang? Entah. Aku masih mematung di pelataran Stasiun Tugu.
“Becak, Mas?”
Aku menoleh, lalu mengangguk mesti itu sebuah penolakan halus kepada orng-orang yang masih menarik becak dengan genjotan kakinya. Sebagian sudah dengan mesin sepeda motor untuk mengantar siapa saja. Termasuk kepada turis berkulit putih, yang sebagian masih lebih senang dengan sensasi genjotan dengan nafas kehidupan khas Jogja.
“Ke Prawirotaman, kan?” kejar penarik becak sudah berumur itu.
“Nek yo?”