“Nindyyy …,” desis Te seraya mengikuti irama seperti dalam film menjelang ending. Ia menyongsong gadis yang telah dikabarkan kepada Son sahabatnya. Sebagai gadis full colour, dan memesona.
Maka mereka pun berhadap-hadapan dalam jarak yang hanya berbilang sentimeter. Saling pandang. Dan keduanya sama-sama terdiam.
“Maaas …,” desis gadis itu.
“Ya, babe ….”
Namun tanpa kata-kata bak berbalas pantun, justru si gadis menyergap Te. Hup. Te gelagapan. Namun demi yang memeluk gadis pujaan dan memang cantik, ia bersikap seperti guling. Membiarkan dirinya dipeluk dan kemudian diciuminya kening. Rambutnya diusek-usek pun diam.
“Aaah ….,” desis Te tak mempedulikan sekitar tanggul pada sore yang kelewat indah itu.
“Masss ….”
“Ya, Sayang.”
Kali ini hasrat dan naluri kelelakiannya seperti membimbingnya. Ia kali ini yang mulai aktif. Membelai rambut si gadis yang baru pertama kali ditemui.
Saat ia benar-benar akan mendekatkan bibirnya, terdengar sebuah suara yang lebih mendekati selama ini dalam telepon. Suara ….
“Mas Teee ….”
