Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Untuk Cinta Nindy

29 Januari 2017   06:24 Diperbarui: 29 Januari 2017   08:04 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                “Jangan senyum-senyum, kowe!”

                “Ya, masak aku maksa kamu untuk meminta bantuan logistik nggak sebesar bantuan UNHCR.”

                Son tak berdaya. Dan ia sesungguhnya ingin segera mendapatkan kepastian. Kalau Te ketemu dengan Nindy, dan Te segera mendapat proyek yang memang sudah digadang-gadang sejak lama. Sebuah proyek yang tidak main-main. Ia tahu itu. Dan ia tahu siapa pemilik proyek itu. Orang kelas atas dari Jakarta. Artinya, proyek cinta sahabatnya jalan, dan proyeknya Te meluncur. Klop. Dan ia bisa nebeng untuk ikut kaya. Setidaknya bisa bertemu dengan konglomerat asli Melayu yang wajahnya kerap menghiasi layar kaca. Dan katanya punya stasiun TV juga.

                  “Kali ini, aku bekali kau doa. Untuk sebuah cinta seorang Te. Kepada Nindy. Nindy siapa lengkapnya, Te?”

                “Nindy Gelise.”

                “Namanya boleh juga. Kayak orang elite.”

                Te meringis. “Kalau ndak geulis, kata orang Sunda, masak aku mau?”

                Berangkatlah Te dengan hati kebyar-kebyar. “Indonesia, merah darahku, putih tulangku. Bersatu dalam semangatmu: Te-Nindy, Te-Nindy. Kebyar-kebyar, pelangi cinta …,” dendang Te.

                Pertemua terjadi di sebuah tanggul perbatasan Sidardjo-Surabaya. Te sudah lengkap membawa jaket segala, siapa tahu kedinginan. Sebentar-sebentar HP dilongok. Siapa tahu sudah ada muncul SMS, dan lebih-lebih dering telepon yang nada deringnya lagu karya Gombloh nan menyemangati cintanya yang belum genap itu.

                 “Aku di sebelah kananmu ….”

                Te menoleh ke arah kanan. Namun karena ia orang linglungan, ia tak mengerti mana kanan mana kiri. Yang ditoleh ke arah matahari mulai turun ke barat. Dan dari sana, siluet seorang gadis seperti yang dibayangkan selama ini sedang berjalan seperti slowmotion. Yang jelas, rambutnya tertiup angin sore, melambai-lambai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun