“Saya ndak kegatelan ....”
Baru ia tertawa dengan bermartabat. Tertawa indah dan teratur, maksudku. Sebab jika ia tertawa model kuntilanak di kereta yang berangkat dari Stasiun Jatinegara, pasti aku angkat kaki. Biarpun aku selama ini dikenal sebagai lelaki pemberani dan ini terjadi pada siang hari. Tak jadi ke Bogor Negeri Hujan pun tak apa.
“Sampeyan sepertinya sedang ada proyek. Dengan membawa tas koper besar, berkeringat dan tergopoh-gopoh ....”
Tanpa malu jidat kutepuk sendiri. Kenapa ia bisa pas menebak?
“Anda ...eh, sampeyan bukan kuntilanak, kan?”
“Kalau kuntilanak cantik, kenapa emang?”
“Ya artinya kita ndak berjodoh.”
“Ow!” sengaunya.
“Kenapa? Menolak saya lamar?”
“Sampeyan genderuwo. Kulo kuntilanak cantik. Klop, kan?”
Aku mencoba mencari-cari sisir. Sesungguhnya aku tak pernah mengenal benda itu. Jadi takkan kutemukan benda itu di tas besar berisi buku-buku yang ditandai wanita sebayaku di sisiku itu sebagai sedang punya proyek. Hanya tersebab aku kepayahan menggotong koper bermerek itu naik ke kereta commuter line. Bisa-bisanya ia menebak aku sedang punya proyek. Tak masuk akal. Karena ia monyet cantik? Kuntilanak cantik?