Penumpang kereta nyaman Sabtu pagi itu tak kunjung padat. Kalaupun naik penumpang lain, mereka tak mencoba mengusik sepasang genderuwo dengan kuntilanak ini sedang pedekate.
“Sudah. Kita baik-baikan saja.”
“Lho, jadi nikah ndak?”
“Ya, sesampai di Bogor, dan kita cari Pak Lebe untuk menikahkanlah.”
Ia menjentikkan jarinya. Jelas, jari-jemari lentik yang dirawat. Jari-jari yang tidak bersentuhan dengan sabun colek. Dan ia berfungsi sebagai seorang pembantu rumah tangga atawa PRT. Bukan. Namun apabila ia jadi menjadi istriku setelah menemui Pak Lebe di Bogor, ia mesti pintar masak. Aku paling doyan masakan. Sepertinya seluruh Nusantara yang kata Bos Madyang temanku Rahab Ganendra, ini negeri penuh pesona. Termasuk jengkol dan petai asyik kalau diolah oleh wanita cantik yang ikhlas menyajikan kepada suaminya.
“Real sajalah. Setelah turun dari kereta di Bogor, saya traktir toge goreng ....”
“Ih!”
“Kok ih?”
“Ya, kenapa ndak soto mie saja?”
“Jadi! Deal.”
Alkisah kereta masih terus melaju. Silih berganti orang yang duduk di bangku berjok hijau lumut yang kami pantati bersama wanita entah siapa. Entah monyet cantik, entah kuntilanak cantik. Tapi ia asyik. Untuk diajak ngawur seorang genderuwo ini.