Senja di dermaga, biasanya sepi. Dan itu yang kunanti. Sehingga aku bisa membawa Desi ke sana. Bercengkerama. Mengacak-acak rambutnya. Menyumpal telinga, setelah menyibak rambutnya, dengan earphone. Satunya untuk kupingku. Lalu kami mengangguk-anggukkan kepala bersama. Hingga kadang bertemu, beradu, saling tatap. Tanpa kata-kata.
Laut cinta/ di mana kauberada/ oh, sedih ….!
Itu lagu wajib kami.
Sore makin rebah. Angin cuma kecil-kecil seperti enggan menyapa kami yang duduk menghadap laut mulai berombak teratur.
ku akan pergi meninggalkan dirimu
menyusuri liku hidupku ….
Aku menyanyi, saat telinga kami sama-sama tak disumpal earphone.
“Maksudku pergi beneran?”
“Ya, Desi. Takkan lama.”
Desi diam.
“Se tak lama-lamanya …aku akan kesepian.”
“Aku juga di sana.”
“Kenapa tak kaubawa aku serta?”
Aku menggeleng.
“Demikian penting, dan mesti sendiri saja?”
Aku mengangguk.
Desi menghela nafas. Kakinya diayun-ayunkan. Menggantung tak menyentuh air laut yang jauh di bawah.
Senja meremang. Lampu berpendar di dermaga. Aku berdiri. Mengusap-usap rambut Desi.
“Tunggu di sini, satu purnama ….”
“Terlalu lama …”
“Untuk masa depan kita, tak. Tak ada kata-kata lama.”
Rambut Desi kuucak-ucak. Dan aku melangkah menjauh. Mendekati kapal yang akan membawaku, dan kelak balik lagi ke dermaga. Menjumpai Desi.
Laut cinta di mana kauberada
Oh, sediiih ….
***
Senja di dermaga, bulan purnama di atas permukaan laut. Tak ada Desi di situ. Aku tahu karena sebuah pesan singkat ke HP-ku sepekan lalu dari keluarga Desi. Mengabarkan Desi yang ditabrak mobil yang dikendarai secara ugal-ugalan.
Aku duduk menghadap laut. Menyumpali dua telingaku dengan earphone.
“Itu lagu wajib kita, Solmed …,”terdengar suara masuk, suara Desi.
Aku menghela nafas panjang. Tanganku mencoba mengucak-ucak rambut lembut disentuh angin senja seperti biasanya. Tak ada Desi di situ.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H