Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(FITO) Dan Senja pun Sunyi di Dermaga

24 Agustus 2016   09:37 Diperbarui: 24 Agustus 2016   09:42 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja di dermaga, biasanya sepi. Dan itu yang kunanti. Sehingga aku bisa membawa Desi ke sana. Bercengkerama. Mengacak-acak rambutnya. Menyumpal telinga, setelah menyibak rambutnya, dengan earphone. Satunya untuk kupingku. Lalu kami  mengangguk-anggukkan kepala bersama. Hingga kadang bertemu, beradu, saling tatap. Tanpa kata-kata.

Laut cinta/ di mana kauberada/ oh, sedih ….!

Itu lagu wajib kami.

Sore makin rebah. Angin cuma kecil-kecil seperti enggan menyapa kami yang duduk menghadap laut mulai berombak teratur. 

ku akan pergi meninggalkan dirimu

menyusuri liku hidupku ….

Aku menyanyi, saat telinga kami sama-sama tak disumpal earphone.

“Maksudku pergi beneran?”

“Ya, Desi. Takkan lama.”

Desi diam.

“Se tak lama-lamanya …aku akan kesepian.”

“Aku juga di sana.”

“Kenapa tak kaubawa aku serta?”

Aku menggeleng.

“Demikian penting, dan mesti sendiri saja?”

Aku mengangguk.

Desi menghela nafas. Kakinya diayun-ayunkan. Menggantung tak menyentuh air laut yang jauh di bawah.

Senja meremang. Lampu berpendar di dermaga. Aku berdiri. Mengusap-usap rambut Desi.

“Tunggu di sini, satu purnama ….”

dok. TS
dok. TS
Desi berat hati. Ia tetap duduk, dan sekali menoleh ke arah punggung di mana rembulan bulat membesar muncul dari permukaan laut.

“Terlalu lama …”

“Untuk masa depan kita, tak. Tak ada kata-kata lama.”

Rambut Desi kuucak-ucak. Dan aku melangkah menjauh. Mendekati kapal yang akan membawaku, dan kelak balik lagi ke dermaga. Menjumpai Desi.

Laut cinta di mana kauberada

Oh, sediiih ….

***

Senja di dermaga, bulan purnama di atas permukaan laut. Tak ada Desi di situ. Aku tahu karena sebuah pesan singkat ke HP-ku sepekan lalu dari keluarga Desi. Mengabarkan Desi yang ditabrak mobil yang dikendarai secara ugal-ugalan.

Aku duduk menghadap laut. Menyumpali dua telingaku dengan earphone.

“Itu lagu wajib kita, Solmed …,”terdengar suara masuk, suara Desi.

Aku menghela nafas panjang. Tanganku mencoba mengucak-ucak rambut lembut disentuh angin senja seperti biasanya. Tak ada Desi di situ.  

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun