Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hari Ketiga Hari Raya

8 Juli 2016   07:27 Diperbarui: 8 Juli 2016   09:43 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila ada hari raya satu Syawal dan disambut dengan kemeriahan, itu adalah sarung. Yang menggubet tubuh ini. Sebagai pertanda hari raya telah tiba. Duduk di barisan belakang masjid raya di rumput sambungan masjid di tengah kota dan alun-alun. Sambil mendengar khutbah yang sama sebangun dengan hari-hari raya sebelumnya, dan sebelumnya lagi.

Mungkin tidak penting, salat Id bagiku. Yang hanya mengikuti tradisi sejak kecil setelah disunat dan hingga kemudian pulang sebagai kaum urban kota besar sebagai peneguhan orang berhasil menaklukkan ibukota. Salat Id itu sunah, TS.

Selazimnya aku pun tak mesti duduk bersimpuh mendengar khutbah yang tak banyak berinovasi. Kalau Idul fitri itu kelanjutan dari puasa ramadhan sebulan dan membayar zakat fitrah sebelum salat Id. Namun apa kata orang, karena saya sudah tiba di kampung semalam dan jika tidak salat Id? Kamu harus sempurna sebagai orang yang merantau ke ibukota.

Dan orang-orang pulang salat Id sebelum khutbah berakhir. Aku pun yang dilewati orang-orang yang tampak begitu antusias pulang mungkin akan segera makan ketupat dan dengan lauk-pauknya yang tidak biasa seperti hari-hari berat kemarin. Mereka yang umumnya mengenalku, sengaja datang menyalamiku, yang duduk di rumput dengan Koran ibukota yang kebetulan kubawa untuk alas sajadah panjang. Sepintas, kepala daerah yang melintasiku yang menuju ke mobil dinas melirik ke arahku. Hanya melirik.

“Mampir nanti, Mas TS.”

“Awas.”

“Kamu ndak sombong kan setelah jadi terkenal di ibukota?”

Aku nyegir. Tertawa getir. Inilah cara orang-orang kota kelahiranku dalam menyambut kedatanganku yang tak tiap tahun mudik. Khas bercanda setengah mengancam. Apalagi kalau ia berusia lebih dariku.

***

Aku padahal bukan orang terkenal. Mungkin ya kalau namaku sesekali muncul di media, dan kebetulan ada wajahku. Lalu beberapa awak media yang umumnya lebih muda dariku, sering mengerumuniku ke rumah. Entah meminta waktu wawancara kecil untuk medianya. Atau meminta buku. Bahkan kadang hanya ingin bersalaman dan berfoto di era selfie sekarang ini.

“Bupati sekarang payah …,” kata salah seorang awak media ibukota dan dalam sebulan paling beberapakali menayangkan berita di televisi yang dibanggakan. Meski ia hanya reporter lepas. Yang dibayar kalau ada berita yang ditayangkan.

“Payahnya?” tuntutku.

“Ya, pokoknya payah ….”

“Kasihlah alasannya.”

Ia menoleh ke arah teman-temannya. Sebagian mengangguk.

“Masak ngasih THR tak cukup dengan sekilo daging ….”

“Atau seekor ayam ….”

Astagfirullah. Inikah berita tentang seorang bupati yang dua kali terpilih, dan ia seorang yang merangkak dari bawah? Lelaki yang secara penampilan memang tak mujaji? Dan ketika saya sempat melihat dalam berpidato pun membaca teks yang disiapkan oleh staf, masih saja belepotan? Artikulasi yang tak jelas. Dan dibacakan dengan kerap menunduk. Bahkan dengan eee … sebuah keraguan.

“Harga daging kan mahal. Kalau sekilo seratus ribu rupiah lebih, dan kalian masih minta uang bumbu untuk memasak serta minta uang minyak gorengnya, berapa? Dan kalikan dengan jumlah kalian … yang sebagian tak punya media.”

Aku terpaksa menyebut begitu. Kenyataannya memang seperti itu. Sama seperti awak-awak media di daerah lain yang jumlahnya membengkak ketika ada acara seorang kepala daerah semisal safari ramadhan atau apalah. Jika kepala daerahnya sedang kena kasus, seperti soal penggelapan uang atau dana BOS, mereka mlipir-mlipir. Hanya datang dari samping pendopo. Lalu tangannya menadah ke atas, dan ngeluyur pergi.

Mereka pun ngeluyur pergi. Bahkan kemudian, kurang dari enam jam ada SMS dari mantan awak media yang bukan termasuk wartawan bergerombol itu, mengabarkan. TS itu masih saja sombong. Mentang-mentang orang media ibukota.

“Kamu masih jadi awak media, ST?” tanyaku ketika si pengirim SMS itu ketemu di alun-alun sambil makan grombyang. Malam-malam yang lebih ramai dari hari-hari biasa.

Ia tertawa.

“Kaupikir?”

“Kamu sudah menjadi WTS* karatan.”

Kami ngakak bersama.

Alun-alun kian sunyi. Ketika hari ketiga Syawal mereka yang berdagang di tengah alun-alun, khusus diberi kesempatan bupati mulai mengemasi barang-barang dagangannya. Ah, ini pun bisa sambilan orangnya bupati mencari tambahan, kata ST.

“Gimana Bupatinya, ST?” tanyaku setelah beringsut ke penjual wedang jahe di sisi barat deretan dengan Masjid Agung.

ST tak menjawab. Lalu dagunya diangkat dan menunjuk ke arah utara. Di mana seorang laki-laki yang tak lagi kurus berjalan ke arah kami.

“Assalamualakikum, Mas TS …,” sapanya seraya menyorongkan tangan.

Aku pun menyalaminya seraya menyahut salam itu sebagai kewajiban. Jika saja tak begitu aturan yang kupahami, aku akan menjawab dengan sekenanya. Mungkin dengan artikulasi yang sama seperti kalau ia berpidato.

“Selamat datang di kota kelahiran kita ….”

“Mmmm…. Saya KTPnya sudah bukan sini lagi.”

Dia mengangguk-angguk.

“Boleh saja. Tapi kan pemikirannya tetap ke sini ….”

Aku mengernyitkan kening.

“Dari mana tahu?”

Ia menoleh ke arah ST.

“O.”

“Jadi, benar, kan?”

Aku garuk-garuk kepala. Bingung.

“Bolehlah. Juga tulisan-tulisan njenengan yang ….”

“Selalu tak sejalan dengan kebijakan Anda.”

Ia tampak menelan ludah. Lehernya naik-turun.

“Saya pikir, ide untuk membangun bandara di sini atau di wilayah ini, konyol.”

Ia menarik kepala ke belakang.

“Tapi kan ini untuk memajukan pariwisata kita di sini. Juga mungkin bisa memperlancar kalau Mas TS mudik seperti sekarang.”

Aku tertawa.

Ia tampak tegang. Tidak senang.

“Pusat, atau Kementerian Perhubungan tak usah disodor-sodori, tahu layak tidaknya sebuah wilayah membuat bandara. Sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan jalan tol, hampir nyambung ke sini.”

“Iya. Tapi ….”

“Lha, permintaan orang naik kereta api kelas argo saja kecil sekali di sini. Itu sebab sampai sekarang kereta kelas itu tak berhenti di stasiun kota ini. Industrialisasi juga mana?”

Lelaki yang belum memesan minuman hangat itu, merogoh kantong celana. Lalu mengaktifkan gadgetnya. Kemudian ia menelpon, setelah menyebut: Matiaku! Lalu berdiri. Dan pelan-pelan meninggalkanku yang saling pandang dengan ST.

Kami ngakak lagi. Menyeruak ke udara malam yang panas di Pantura ini.

***

Catatan: WTS, Wartawan tanpa Suratkabar

Angkasapuri, 3 Syawal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun