Ia tertawa.
“Kaupikir?”
“Kamu sudah menjadi WTS* karatan.”
Kami ngakak bersama.
Alun-alun kian sunyi. Ketika hari ketiga Syawal mereka yang berdagang di tengah alun-alun, khusus diberi kesempatan bupati mulai mengemasi barang-barang dagangannya. Ah, ini pun bisa sambilan orangnya bupati mencari tambahan, kata ST.
“Gimana Bupatinya, ST?” tanyaku setelah beringsut ke penjual wedang jahe di sisi barat deretan dengan Masjid Agung.
ST tak menjawab. Lalu dagunya diangkat dan menunjuk ke arah utara. Di mana seorang laki-laki yang tak lagi kurus berjalan ke arah kami.
“Assalamualakikum, Mas TS …,” sapanya seraya menyorongkan tangan.
Aku pun menyalaminya seraya menyahut salam itu sebagai kewajiban. Jika saja tak begitu aturan yang kupahami, aku akan menjawab dengan sekenanya. Mungkin dengan artikulasi yang sama seperti kalau ia berpidato.
“Selamat datang di kota kelahiran kita ….”
“Mmmm…. Saya KTPnya sudah bukan sini lagi.”