“Payahnya?” tuntutku.
“Ya, pokoknya payah ….”
“Kasihlah alasannya.”
Ia menoleh ke arah teman-temannya. Sebagian mengangguk.
“Masak ngasih THR tak cukup dengan sekilo daging ….”
“Atau seekor ayam ….”
Astagfirullah. Inikah berita tentang seorang bupati yang dua kali terpilih, dan ia seorang yang merangkak dari bawah? Lelaki yang secara penampilan memang tak mujaji? Dan ketika saya sempat melihat dalam berpidato pun membaca teks yang disiapkan oleh staf, masih saja belepotan? Artikulasi yang tak jelas. Dan dibacakan dengan kerap menunduk. Bahkan dengan eee … sebuah keraguan.
“Harga daging kan mahal. Kalau sekilo seratus ribu rupiah lebih, dan kalian masih minta uang bumbu untuk memasak serta minta uang minyak gorengnya, berapa? Dan kalikan dengan jumlah kalian … yang sebagian tak punya media.”
Aku terpaksa menyebut begitu. Kenyataannya memang seperti itu. Sama seperti awak-awak media di daerah lain yang jumlahnya membengkak ketika ada acara seorang kepala daerah semisal safari ramadhan atau apalah. Jika kepala daerahnya sedang kena kasus, seperti soal penggelapan uang atau dana BOS, mereka mlipir-mlipir. Hanya datang dari samping pendopo. Lalu tangannya menadah ke atas, dan ngeluyur pergi.
Mereka pun ngeluyur pergi. Bahkan kemudian, kurang dari enam jam ada SMS dari mantan awak media yang bukan termasuk wartawan bergerombol itu, mengabarkan. TS itu masih saja sombong. Mentang-mentang orang media ibukota.
“Kamu masih jadi awak media, ST?” tanyaku ketika si pengirim SMS itu ketemu di alun-alun sambil makan grombyang. Malam-malam yang lebih ramai dari hari-hari biasa.