Aku pun duduk. Di kursi yang melingkari meja kecil yang sudah dipenuhi kue-kue kering di toples. Cucuku duduk di pangkuanku.
“Maafin aku, ya Pa ….”
Aku mengangguk kecil. Dengkulku dicium istri. Dan kemudian berturut-turut anakku pertama dan suaminya. Lalu anak kedua, ketiga dan keempat. Disaksikan cucu yang duduk di sisiku dan sesekali mengelus kepala bibi-bibinya.
Sebelum makan ketupat, aku berkata di hadapan anak-anakku dan menantu.
“Lebaran ini, Bapak tidak bisa banyak membuat lebaran kita ….”
“Sudah biasa, Paaa …!”
Aku mengangguk kecil.
“Ya, Ibumulah yang hebat. Ia paling benar, dan paling pinter. Makanya, kali ini Bapak ndak bisa ikut ke rumah mbah …Bapak di rumah saja.”
Entah karena tersihir ucapanku, mereka setuju. Meninggalkanku sendirian di rumah. Walau tanpa baju baru, kue-kue cukup banyak. Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Sendirian di rumah yang kusam.
Lalu, aku menutup pintu. Memakan apa saja, sebanyak-banyaknya. Seperti ingin membalas dendam puasa tiga puluh hari genap itu. Terutama kacang goreng nan gurih. Ditutup dengan sirop manis merah. Sebanyak-banyaknya. Hingga kemudian, aku melihat wanita-wanita salat berjamaah. Semua mengenakan baju rukuh yang putih! Disusul burung-burung putih datang dari arah kiri. Berbondong-bondong.
Mataku menjadi putih. Dan meredup. Dan kemudian gelap. Mati. Sendirian. Di hari lebaran.