Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lebaran ini, Aku Mati!

6 Juli 2016   06:22 Diperbarui: 6 Juli 2016   08:58 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore di ujung Ramadhan. Gerimis, meski tak gelap tanah. Senja belum genap karena suara adzan Maghrib tanda kumandang waktu berbuka tiba belum bergema.

Duduk di bangku kayu panjang, menatap tetes-tetes air dari langit, begitu sempurna keindahan sore ini. Sepertinya menanti malaekat akan turun mengabarkan satu Syawal akan tiba.

“Kausudah siap?”

Pertanyaan entah dari mana datangnya itu, tak bisa kujawab. Aku hanya bisa mencatat. Tak bisa membelikan baju baru kepada istri. Ya, kepada wanita yang telah melahirkan empat orang anak dan semua sudah besar. Bahkan satu sudah menikah dan memberiku seorang cucu cerdas melebihi anak-anakku dulu seusianya.

“Hanya satu baju?” tanyanya, dua puluh lima tahun lalu lebih.

“Ya.”

“Menyedihkan.”

Memang. Aku hanya mampunya membelikan satu baju untuk anakku pertama, ketika ia berusia dua setengah tahun. Dan anakku tak memprotes. Ia senang-senang saja mendapatkan baju putih dengan di dada kirinya ada bunga dan renda wanita menyerupai boneka.

Ah, sekelebatan sudah hampir tiga puluh tahun lebaran itu. Dan kini aku mempunyai anak cucu seusia ibunya, anakku pertama waktu itu. Dan aku sama sekali tak mampu membelikan baju untuknya. Ibunya tak protes. Karena ia mampu membelikan baju anaknya, lebih dari satu baju. Dan nilainya tentu jauh lebih besar daripada ketika ia kubelikan satu-satunya baju saat aku mengontrak rumah petak di daerah becek di pinggiran Jakarta sebelum seperti sekarang yang semua jalan-jalan dan gang kecilnya sudah dibeton.

Lampu padam. Ya, menjelang Maghrib. Indahnya. Dan aku masih duduk di bangku panjang. Lalu, lamat-lamat kudengar suara adzan Maghrib sekaligus pertanda untuk berbuka. Saat itu, ke langit gebyar kembang api.

“Sempurna!” desisku.

Aku baru beranjak ke dalam, dan membawa air putih yang kuteguk. Allahuma laka sumtu …!

***

Salat Id kujalani di masjid kompleks. Dan aku menempati di sisi kanan masjid, di jalan yang digunakan untuk menadahi luberan orang salat sunat yang menjadi cita-cita orang-orang kebanyakan. Dan hampir semuanya mengenakan baju baru, kopiah atau tutup kepala, dan bahkan alas kaki baru. Termasuk, sarung. Begitupun yang perempuan. Dengan hijab yang super-super indahnya. Dan mahal-mahal, tentu. Selain wangi.

Tak ada yang berbeda dengan salat-salat Id maupun salat Idul Adha. Sebagian bergegas ketika salat usai, tanpa mendengar khutbah Id. Tak penting. Meski itu dikumandangkan oleh khatib yang didatangkan dari luar, dan bahkan bergelar doktor.

“Idul Fitri adalah kembalinya kita menjadi manusia yang fitri, suci ….”

Aku diam, di tengah-tengah jalan dengan beralaskan koran dan sajadah. Karena koran-koran itu sudah diambil oleh pemulung yang sudah menunggu sejak sebelum salat Id berlangsung.

“Allahu akbar …Allahu akbar …!”

Dan aku pulang. Gontai.

“Ayo, cepet-cepet. Kita sungkeman …!”

Aku belum masuk ke dalam rumah, dan sudah disambut cucuku tiga tahun. Ia menyalamiku.

“Akung ….ayo cepet!” serunya.

Aku pun duduk. Di kursi yang melingkari meja kecil yang sudah dipenuhi kue-kue kering di toples. Cucuku duduk di pangkuanku.

“Maafin aku, ya Pa ….”

Aku mengangguk kecil. Dengkulku dicium istri. Dan kemudian berturut-turut anakku pertama dan suaminya. Lalu anak kedua, ketiga dan keempat. Disaksikan cucu yang duduk di sisiku dan sesekali mengelus kepala bibi-bibinya.

Sebelum makan ketupat, aku berkata di hadapan anak-anakku dan menantu.

“Lebaran ini, Bapak tidak bisa banyak membuat lebaran kita ….”

“Sudah biasa, Paaa …!”

Aku mengangguk kecil.

“Ya, Ibumulah yang hebat. Ia paling benar, dan paling pinter. Makanya, kali ini Bapak ndak bisa ikut ke rumah mbah …Bapak di rumah saja.”

Entah karena tersihir ucapanku, mereka setuju. Meninggalkanku sendirian di rumah. Walau tanpa baju baru, kue-kue cukup banyak. Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Sendirian di rumah yang kusam.

Lalu, aku menutup pintu. Memakan apa saja, sebanyak-banyaknya. Seperti ingin membalas dendam puasa tiga puluh hari genap itu. Terutama kacang goreng nan gurih. Ditutup dengan sirop manis merah. Sebanyak-banyaknya. Hingga kemudian, aku melihat wanita-wanita salat berjamaah. Semua mengenakan baju rukuh yang putih! Disusul burung-burung putih datang dari arah kiri. Berbondong-bondong.

Mataku menjadi putih. Dan meredup. Dan kemudian gelap. Mati.  Sendirian. Di hari lebaran.

***  

Angkasapuri, 1 Syawal 1437 H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun