Aku baru beranjak ke dalam, dan membawa air putih yang kuteguk. Allahuma laka sumtu …!
***
Salat Id kujalani di masjid kompleks. Dan aku menempati di sisi kanan masjid, di jalan yang digunakan untuk menadahi luberan orang salat sunat yang menjadi cita-cita orang-orang kebanyakan. Dan hampir semuanya mengenakan baju baru, kopiah atau tutup kepala, dan bahkan alas kaki baru. Termasuk, sarung. Begitupun yang perempuan. Dengan hijab yang super-super indahnya. Dan mahal-mahal, tentu. Selain wangi.
Tak ada yang berbeda dengan salat-salat Id maupun salat Idul Adha. Sebagian bergegas ketika salat usai, tanpa mendengar khutbah Id. Tak penting. Meski itu dikumandangkan oleh khatib yang didatangkan dari luar, dan bahkan bergelar doktor.
“Idul Fitri adalah kembalinya kita menjadi manusia yang fitri, suci ….”
Aku diam, di tengah-tengah jalan dengan beralaskan koran dan sajadah. Karena koran-koran itu sudah diambil oleh pemulung yang sudah menunggu sejak sebelum salat Id berlangsung.
“Allahu akbar …Allahu akbar …!”
Dan aku pulang. Gontai.
“Ayo, cepet-cepet. Kita sungkeman …!”
Aku belum masuk ke dalam rumah, dan sudah disambut cucuku tiga tahun. Ia menyalamiku.
“Akung ….ayo cepet!” serunya.