Mohon tunggu...
Thaifur Rahman
Thaifur Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Saya pelajar yang selalu ingin tahu tentang kehidupan dengan cara mencoba dan membiasakan hal baru kemudian membarukan kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perihnya Air di Kepanasan

13 Januari 2023   20:28 Diperbarui: 13 Januari 2023   20:31 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

;kepada wanita-wanita yang dituduh sebagai pembohong dalam segala keadaan

Sebening tetesan air embun. Entah sudah berapa keringat yang tumbuh subur di keningmu.

Sedang dahaga selalu menjadi penantian sang anak.

Namun anak tak pernah menyangka,

bahwa embun itu akibat lepuhan dari kulit kering nan tua.

Di halaman, Tuhan menunggu dikumandangkan, lagi.

Meniti kerisauan dari yang terjadi,

Pada sentuhan yang tak pernah ada garis bentuk dan nasib.

Ia, selalu menjadi subjek pembohong, dituduh atau tidak.

Lalu malaikat datang dengan pensil warna-warni dan buku diary:

"Beberapa, sudah kulayangkan kegetiranmu pada Tuhan. Sekarang, kau bisa merasakan hati dengan jujur dan megah. Tuhan ingin menayangkannya di langit."

Sedari awal kau mencemplungkan diri ke laut

Dalam tak bertuan, panas menyengat

Tetapi, suara lembutmu penuh keluh dan kesah

Sejak itu, kau mengubur dalam ketar-ketir hidup

Segala warna tampak buram, remang bahkan sama

Bola matamu,

Kini semakin terjun, terjal ke dalam

Tak terlihat bahkan hitam menggelegam

Kau mencoba kayuh air matamu, terus, melautlah lagi, semakin dalam.

Sampai batu karang berkata, "Jangan kau patahkan sumber sucimu itu hanya karena dituduh sebagai orang paling pembohong."

Ya...

Wanita, terlahir suci

Mintalah kesucian itu kembali

Jangan mau karena panas, Tuhan malah ingin kamu jujur

Entah seberapa menyengat dan perih

Kau harus terbukti pasrah

Kau harus terbukti pasrah

Tunggulah, hanya perlombaan waktu tuk mengubah takdir menjadi baik hati

Wanita yang menyelesaikan embunnya

Dengan air yang terlahir jernih

Mengusap wajah dan bertemu dengan Tuhan

Sejak kali pertama melaut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun