;kepada wanita-wanita yang dituduh sebagai pembohong dalam segala keadaan
Sebening tetesan air embun. Entah sudah berapa keringat yang tumbuh subur di keningmu.
Sedang dahaga selalu menjadi penantian sang anak.
Namun anak tak pernah menyangka,
bahwa embun itu akibat lepuhan dari kulit kering nan tua.
Di halaman, Tuhan menunggu dikumandangkan, lagi.
Meniti kerisauan dari yang terjadi,
Pada sentuhan yang tak pernah ada garis bentuk dan nasib.
Ia, selalu menjadi subjek pembohong, dituduh atau tidak.
Lalu malaikat datang dengan pensil warna-warni dan buku diary:
"Beberapa, sudah kulayangkan kegetiranmu pada Tuhan. Sekarang, kau bisa merasakan hati dengan jujur dan megah. Tuhan ingin menayangkannya di langit."
Sedari awal kau mencemplungkan diri ke laut
Dalam tak bertuan, panas menyengat
Tetapi, suara lembutmu penuh keluh dan kesah
Sejak itu, kau mengubur dalam ketar-ketir hidup
Segala warna tampak buram, remang bahkan sama
Bola matamu,
Kini semakin terjun, terjal ke dalam
Tak terlihat bahkan hitam menggelegam
Kau mencoba kayuh air matamu, terus, melautlah lagi, semakin dalam.
Sampai batu karang berkata, "Jangan kau patahkan sumber sucimu itu hanya karena dituduh sebagai orang paling pembohong."
Ya...
Wanita, terlahir suci
Mintalah kesucian itu kembali
Jangan mau karena panas, Tuhan malah ingin kamu jujur
Entah seberapa menyengat dan perih
Kau harus terbukti pasrah
Kau harus terbukti pasrah
Tunggulah, hanya perlombaan waktu tuk mengubah takdir menjadi baik hati
Wanita yang menyelesaikan embunnya
Dengan air yang terlahir jernih
Mengusap wajah dan bertemu dengan Tuhan
Sejak kali pertama melaut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H