"Kamu masih jadi pemuja dunia, Nuy?"
Pertanyaan itu tetiba muncul dari kawanku yang baru bersua lagi setelah belasan tahun tak pernah berjumpa. Tentu saja aku tak langsung menjawab. Kuamati dulu tatap mata wanita cantik yang dulu pernah menjadi sahabat saat masih SMA. Saat itu kami selalu duduk sebangku, berbagi suka duka, berbagi makanan, bahkan berbagi cerita rahasia.
Kini sahabatku itu mengenakan pakaian tertutup. Membuat tampilannya makin cantik dan anggun. Aku sangat menyukai kepribadiannya yang supel, ramah, dan berlapang dada. Jauh dari tuturan yang nyinyir dan menyakiti.
Karena itulah saat telingaku mendengar pertanyaan dari mulutnya, sepertinya seluruh saraf yang terkumpul dalam tubuh ikut bereaksi. Bagian-bagian tubuhku merespons pertanyaan ini dengan cepat. Dahi mengernyit. Mata melirik agak menyipit. Bunyi desis keluar dari pangkal lidah. Bahu bergedik. Bahkan bibir berubah bentuk tak lagi dalam posisi sejajar. Ujung lidah sedikit menjulur keluar agak menyamping.
"Maksudnya?"
Hanya itu yang bisa kukemukakan. Menjawab tanya dengan pertanyaan lagi. Aku ingin Sheena menjelaskan lebih dulu maksud pertanyaannya.
"Kulihat kamu menghabiskan waktu buat bisnis online. Terus-terusan dikendalikan urusan dunia. Tiada henti dengan kesibukan ini itu. Apa kamu enggak lupa menyisihkan waktu buat diri sendiri dan melaksanakan perintah-Nya?"
Pertanyaan macam apa ini, ya? Sekilas seperti sebuah pertanyaan berkualitas HOT's alias High Order Thinking Skill yang biasa kususun untuk membangkitkan kualitas berpikir kritis siswa. Dengan pertanyaan HOT's, diharapkan siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah, berpikir kreatif, berpikir kritis, berargumen, serta mengambil keputusan.
Namun jika dikaji lagi, pertanyaan ini sepertinya dibangun dengan nada khas. Didalamnya terdapat unsur rasa ingin tahu bernuansa ironisme. Mengundang reaksi kritis namun berbalut sikap sinis.
Aku terhenyak dengan pemikiranku. Jangan-jangan aku suuzon. Pasang tameng sebelum tubuh memar terkena pukulan. Hingga akhirnya melahirkan pikiran jelek. Lagi pula, bukankah Sheena pun seorang wanita karier? Dia karyawan yang memiliki kedudukan keren di usianya. Sering keluar kota meninggalkan keluarga. Sementara pekerjanku menuntutku untuk standby di rumah. Pertanyaan itu sepertinya salah arah. Bukan untukku melainkan untuknya.
"Mana yang harus kujawab lebih dulu? Pertanyaan kesatu atau pertanyaan berikutnya?"
Aku berusaha santai menanggapi pertanyaannya. Sebenarnya aku senang banget bisa ketemu Sheena. Kuharap pertemuan ini menjadi pertemuan lepas kangen bersejarah yang layak dikenang.
"Nah, sepertinya kamu lagi make jurus berkelit. Ada apa sebenarnya kamu jadi suka berkelit begini? Susah ya, jawab pertanyaanku?"
Sheena menambah daftar pertanyaan lagi sebelum kujawab satu pun.
"Nah, pertanyaanmu bertambah jadi tiga. Apa aku harus menjawabnya secara berurutan? Atau bisa acak?" jawabku  sedikit berseloroh.
Obrolan sedikit terjeda saat hidangan tiba. Kuucapkan terima kasih pada pramusaji yang datang membawakan jus mangga. Kubantu dengan menyodorkan jatah Sheena. Sementara Dion, demikian nama pramusaji yang kubaca dalam seragamnya, lanjut menyajikan pesanan kami. Makanan Sheena masih seperti dulu, daging asap dan bersantan. Sedang aku tak pernah jauh dari ikan bakar dan sayuran.
"Hm... kamu enggak bosan dengan ikan bakar, Nuy? Sesekali ganti dong dengan daging. Biar sedikit berkelas," lanjutnya sambal mengangkat bahu.
"Nah, tambah lagi. Ini pertanyaan keempat. Biar kucatat dulu sebelum kuberikan jawabannya, ya!" Kutambah guyonanku.
"Jawab langsung, napa sih? Pake cotat-catet segala! Emang kamu lagi mikirin apa sampe enggak bisa jawab langsung?"
Nadanya mulai meninggi. Mukanya merengut kesal. Namun, keingintahuannya tentang aku tak diragukan lagi. Terbukti dengan pertanyaan kelima yang baru saja kudengar. Meski banyak tanya, semangatnya dalam menikmati hidangan tak terlihat surut. Hanya sekejap isi piringnya tandas. Beda denganku yang menikmati makan baru separuh jalan saat dia menangkup silang sendok garpu di piringnya. Pertanda usaitugasnya menyantap hidangan.
"Apa enaknya makan berlama-lama begitu?" tanyanya sambal meraih gelas.
Bola matanya tertuju pada makanan di piringku. Suara seruputannya terdengar saat dia menikmati jus mangga. Entah sadar atau tidak, ini pertanyaan keenam yang disampaikannya padaku.
"Aku juga pengen tanya, apa enaknya makan cepet-cepetan begitu? Bukankah makanan harus dinikmati dan disyukuri? Di mulut aja mesti 24 sampe 30 kunyahan, kan?"
Aku tersenyum sambil melanjutkan makan. Kujawab pertanyaan keenamnya dengan pertanyaan juga. Meski suara Sheena mulai terdengar gusar, aku tak berusaha mempercepat makanku.
Mungkin buat menghilangkan jenuh, Sheena mulai berselancar dengan gawainya. Wanita di depanku ini membuka-buka tayangan pendek dari kanal youtube dan tiktok. Sesekali aku mengintip gambar yang muncul di permukaan layarnya. Beberapa hanya menampilkan kemarahan dari artis dan bintang tiktok. Rupanya saat ini sedang trend perang mulut dan adu emosi di medsos. Hingga aku selesai makan, Sheena masih asyik dengan tontonannya.
Kuraih gawai karena telepon masuk dari Bu Wina, guru TK tempat sekolah Alea. Rupanya bungsuku itu siap dijemput.
"Wah, maaf ya, Sheen, aku harus jemput Alea. Bentar lagi bubar."
"Iya gakpapa. Biar kubayar makanannya," jawabnya seraya mengeluarkan dompet tebalnya.
Dia membukanya sejenak dan memperlihatkan isinya. Kulihat deretan kartu memenuhi ruang lipatan dompetnya.
"Eh, Nuy, kamu bawa uang cash, gak? Kayaknya di tempat ini harus kayak gitu bayarnya. Aku lagi gak bawa, nih!"
"Iya, gakpapa, biar kubayar. Enjoy aja!"
Aku berdiri dan pamitan setelah menyelesaikan pembayaran di kasir. Ternyata bisa juga membayar dengan kartu. Meski sedikit kesal, aku tak ingin mempermasalahkan ini karena harus buru-buru menjemput Alea.
Pekan berikutnya, Sheena mengirim pesan.
"Nuy, kita ketemuan lagi, yuk! Bawalah Alea, biar kubawa juga Syarla anakku. Mereka pasti akrab."Â
"Kayaknya gak bisa deh, Sheen. Aku ada acara keluarga. Kapan-kapan lagi saja, ya?"
Mataku tertuju pada nota pembayaran yang teronggok di sudut meja rias. Kulihat deretan jenis makanan yang harus kubayar saat ketemu Sheena. Sedemikian banyak dan panjang. Sheena tidak bilang kalau dia pesan makanan lengkap buat keluarganya. Makanya saat itu aku tak bisa bayar dengan uang kontan. Beruntung isi kartuku siap pakai.
Ternyata sesuai harapan, pertemuan kami benar-benar lepas kangen bersejarah meski tak layak dikenang.
Tasikmalaya, 28 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H