Aku berusaha santai menanggapi pertanyaannya. Sebenarnya aku senang banget bisa ketemu Sheena. Kuharap pertemuan ini menjadi pertemuan lepas kangen bersejarah yang layak dikenang.
"Nah, sepertinya kamu lagi make jurus berkelit. Ada apa sebenarnya kamu jadi suka berkelit begini? Susah ya, jawab pertanyaanku?"
Sheena menambah daftar pertanyaan lagi sebelum kujawab satu pun.
"Nah, pertanyaanmu bertambah jadi tiga. Apa aku harus menjawabnya secara berurutan? Atau bisa acak?" jawabku  sedikit berseloroh.
Obrolan sedikit terjeda saat hidangan tiba. Kuucapkan terima kasih pada pramusaji yang datang membawakan jus mangga. Kubantu dengan menyodorkan jatah Sheena. Sementara Dion, demikian nama pramusaji yang kubaca dalam seragamnya, lanjut menyajikan pesanan kami. Makanan Sheena masih seperti dulu, daging asap dan bersantan. Sedang aku tak pernah jauh dari ikan bakar dan sayuran.
"Hm... kamu enggak bosan dengan ikan bakar, Nuy? Sesekali ganti dong dengan daging. Biar sedikit berkelas," lanjutnya sambal mengangkat bahu.
"Nah, tambah lagi. Ini pertanyaan keempat. Biar kucatat dulu sebelum kuberikan jawabannya, ya!" Kutambah guyonanku.
"Jawab langsung, napa sih? Pake cotat-catet segala! Emang kamu lagi mikirin apa sampe enggak bisa jawab langsung?"
Nadanya mulai meninggi. Mukanya merengut kesal. Namun, keingintahuannya tentang aku tak diragukan lagi. Terbukti dengan pertanyaan kelima yang baru saja kudengar. Meski banyak tanya, semangatnya dalam menikmati hidangan tak terlihat surut. Hanya sekejap isi piringnya tandas. Beda denganku yang menikmati makan baru separuh jalan saat dia menangkup silang sendok garpu di piringnya. Pertanda usaitugasnya menyantap hidangan.
"Apa enaknya makan berlama-lama begitu?" tanyanya sambal meraih gelas.
Bola matanya tertuju pada makanan di piringku. Suara seruputannya terdengar saat dia menikmati jus mangga. Entah sadar atau tidak, ini pertanyaan keenam yang disampaikannya padaku.