"Kau perlu mngetuknya untuk melihat dalamnya."
"Pintu hati Uda telah terbuka. dan aku tak berniat melangkahkan kakiku ke dalamnya.
Lelaki yang aku panggil Uda itu terdiam. Mungkin bingung. Tetapi Mungkin juga tidak.
"Terserah apa maumu, Yang penting hatimu tak lagi gersang."
Dan kisahpun terus berjalan sesuai dengan keinginanku. Lancar semakin indah dan tak memaksakan kehendak antara satu dengan yang lain. Orang menyebut kami sepasang kekasih. Padahal kami bukan kekasih yang tengah di landa asmara.Kami tak perduli. Terlebih aku. Sangat tak perduli. Pun ketika saudara - saudara Uda mulai melontarkan sindiran untuk segera menikah, kami menanggapi dengan ringan bahkan sesekali dengan tawa.Ya kami tak akan menikah karena kami bukan sepasang kekasih.
Lelaki itu masih aku panggil dengan panggilan Uda, ketika tak terasa setahun sudah aku memuja dan menyimpan bara rindu untuknya. Ketika aku bersiap meninggalkan pelataran hatinya, ketika aku bersiap menyambut dunia baru yang memberi janji manis kepadaku tanpa luka yang bernanah- nanah.
"Apakah kamu yakin?"
"Sangat yakin."
"Bagaimana denganku?"
"Akan baik-baik saja."
"Tapi aku telah terbiasa denganmu."