Mohon tunggu...
Fahmi Ulum
Fahmi Ulum Mohon Tunggu... Peternak -

Peternak

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Perpustakaan (3)

21 Februari 2016   19:39 Diperbarui: 23 Maret 2016   09:35 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cerita sebelumnya di sini

Hari ini entah mengapa terasa sangat melelahkan. Dan keadaan lebih buruk lagi karena hari ini adalah jadwalku untuk pulang terakhir. Aku sudah tidak sabar melewatkan beberapa menit lagi untuk menutup rapat perpustakaan ini dan menguncinya.

Suasana telah sepi. Hanya beberapa pengunjung. Merekapun terlihat sudah mulai berkemas. Dewi juga sedang berkemas. Masih terngiang percakapan kami beberapa hari yang lalu. Dia telah memberi palajaran kepadaku bahwa apa yang tampak tidaklah begitu penting.

Sebelum itu aku hanya ingin mengenalnya dan dia mengenalku. Tapi sekarang ada perasaan baru di antara perasaan ini. Ialah kekaguman. Dia begitu tenang, sederhana, dan tidak banyak bicara. Itu yang tampak darinya. Padahal di balik itu, dia adalah seseorang yang selalu bergerak. Pergerakan yang tidak tampak karena terletak di dalam dirinya. Dia bergerak dengan otak dan pikirannya dengan membaca.

Lamunanku terhenti ketika dia berjalan ke arahku. Aku mendongak memberikan senyum. Ternyata dia hanya mengucapkan salam pamit untuk pulang duluan. Aku hanya bisa mempersilahkan.

Beberapa saat kemudian kumatikan semua komputer yang menyala. Kutelusuri rak-rak buku dan meja baca. Mengecek adakah barang yang tertinggal. Dan benar saja, ketemukan satu tas dengan isinya yang masih tergeletak di meja.

Kuletakkan tas tersebut di meja kerjaku. Dan akhirnya aku bisa pulang untuk istirahat.

Ketika pintu telah kukunci, tiba-tiba ada seseorang mahasiswi yang lari tergopoh-gopoh datang. Dia bertanya tentang apakah perpustakaan telah tutup. Aku mengiyakan. Setelah penjelasan panjang lebar, ternyata dia si pemilik tas yang tertinggal tersebut. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

Kubuka kembali pintu yang baru saja ku kunci. Dia ikut masuk dan menunggu di depan meja peminjaman sementara ku ambilkan tas miliknya.

“Periksa dulu isinya, kalau-kalau ada yang hilang” Ku serahkan tas tersebut sambil berjalan keluar.

“Iya pak, terima kasih banyak..” dia menjawab pelan dengan berjalan mengikutiku dari belakang.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Aku mendapat firasat buruk. Kubalikkan badan ketika sampai di depan pintu keluar.

“Ada apa? Ada yang hilang?” Kupelankan suaraku.

“Maaf pak, iya..” Dia berkata dengan wajah ragu.

“Lha.. mana saya tahu. Yang saya dapati cuma itu.”  Jawabku agak tak mengacuhkannya. Bahkan sebenarnya aku ingin tak memperdulikannya. Karena hari ini benar-benar melelahkan.

“Maaf pak, apakah saya bisa mencarinya?” Dia meminta izin, masih dengan suara ragu.

“Sekarang?” Aku terheren dengan permintaannya.

“Iya pak, maaf..” Dia berkata dengan tertunduk. Wajahnya yang sedih membuatku iba.

“Bagaimana kalau besok saja, besok pagi ke sini lagi temui saya” Jawabku mencoba bijak.

Please Pak..” Dia memohon kepadaku dengan mata berkaca-kaca.

Aku sekali lagi hanya bisa menarik nafas panjang. Kunyalakan kembali lampu ruangan baca.

“Terima kasih pak..”

Dia bergegas menyusuri rak-rak buku. Dia bergerak dengan cepat. Mungkin karena dia merasa tidak enak terhadapku. Di saat yang sama, aku mulai menikmati suasana perpustakaan yang sepi. Kuputar ingatanku kembali selama hampir tiga tahun di sini. Dan akhirnya aku yakin kalau ini adalah saat pertamaku merasakan hal seperti ini.

Tidak ada suara bising CPU, AC, dan pengunjung. Hanya buku-buku yang terjajar tenang dengan teman-temannya. Mungkin di dunia paralel yang lain, mereka sedang istirahat mempersiapkan diri untuk kembali melayani kami para manusia esok hari. Dan sayangnya istiharat mereka harus terganggu oleh kami berdua, terkhususnya anak ini yang sedang sibuk memilah-milah deretan buku.

“Hei.. tadi tas kamu di meja baca sebelah situ. Bukan di rak buku.” Aku berjalan mendekatinya.

“Iya pak, tapi tadi saya meninggalkannya di sini” Mulai tampak kekhawatiran di wajahnya.

“Memangnya apa yang tertinggal?”

“Tadi itu saya membawanya ke sini pak, karena saya ingin mencocokkannya dengan buku yang saya cari. Kemudian teman saya sms kalau dosen telah datang. Karena saya takut telat, saya tinggalkan di sini di antara buku-buku. Tas sayapun saya tinggal. Dengan niatan kembali lagi ke sini..” Suaranya pelan dan tubuhnya mulai sedikit gemetar.

“Hei.. apa bentuk barangnya?” kupotong penjelasannya.

“Itu pak.. Al Quran. Itu pemberian kakek dari rumah” Dia menjawab dengan ragu.

Aku terkejut mendengar jawabannya.

“Kamu semester berapa?” Ku coba menenangkan suasana.

“Semester dua Pak” Jawabnya pelan. Matanya semakin berkaca-kaca.

Saat itu juga terpikir olehku untuk menyediakan kotak untuk barang tertinggal atau barang hilang di perpustakaan ini.

“Begini saja, besok pagi ke sini lagi. Datang ke saya. Akan saya coba bantu mencarinya. Sekarang sudah larut” Kukatakan kepadanya yang sepertinya sudah putus asa.

“Maaf pak, seminggu ini saya ada praktikum di luar kota. Itulah sebabnya….” Dia memotong perkataannya karena air matanya mulai merembes. Menyadari hal itu, dia langsung mengusapnya dengan tangan.

Aku hanya diam. Keadaan seperti ini membuatku bingung. Apalagi hanya berdua di malam hari dalam satu ruangan yang sepi.

Melihatnya yang diam, saat itu aku mulai memahami mengapa anak ini bersikeras untuk mencari barangnya yang tertinggal tersebut saat ini juga.

“Ya sudah.. begini saja, Kamu ke sini lagi ketika kamu sudah balik dari praktikum, insyaallah Al Quran-mu sudah ketemu. Dan sementara itu, seminggu ini mungkin kamu bisa pakai Al Quran yang lain. Kalau kamu mau, kamu bisa meminjam punya saya. Sekarang kita pulang dulu.” Ku katakan kepadanya yang masih sesenggukan.

Akhirnya dia mau pulang setelah tangisnya mereda. Dia mengucapkan terima kasih atas tawaranku yang tidak dia ambil. Setelah dia keluar, kumatikan kembali lampu ruangan baca. Kukunci pintu. Waktu telah menunjukkah pukul 22.45 ketika aku sampai di luar gedung. Kulihat sekeliling mencari mahasiswi tersebut yang sepertinya telah menghilang.

Kurenggangkan badan dengan tarikan nafas panjang. Malam yang dingin dengan anginnya yang sejuk. Sepertinya langit mendung karena tidak ada bintang. Ada juga lampu-lampu temaram yang indah. Rasa capek dan penatku terasa hilang. Dan saat itu kusadari ada perasaan aneh dalam hatiku. Perasaan aneh yang aku tak tahu namnya, ketika menyadari suatu hal tertentu bisa dengan mudah merubah keadaan diri seseorang.

Bersambung di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun