Ternyata, bukannya mereka tidak mengerti bahwa hari Sabat itu untuk ibadat bagi orang yang percaya, dan hari untuk menyenangkan diri lewat liburan bagi yang menjalankannya. Ternyata petani di desa bukannya tak mengerti arti libur.
Lahan-lahan kosong semakin sempit terhimpit permukiman penduduk. Rumah besar, kecil, mentereng, kumuh tumbuh menjadi-jadi. Kalau tanah kosong dibiarkan terbengkalai lama bisa jadi akan digeser batas-batasnya.
Sebagiannya bisa jadi memilih bertani sebagai sekadar hobi, olah raga ringan, cari keringat katanya. Bagi golongan ini, kerja utamanya entah ke kantor misalnya, ditambah lagi berbagai kegiatan sosialnya, membuatnya menjadikan pertanian sebagai kegiatan sambilan. Tidak setiap waktu senggang atau liburan bisa dipakai berleha-leha, hari libur berarti waktu sambil-sambilan untuk bertani.
Kalau lahan tidak ditanami, orang lain yang akan menguasainya. Kalau mau menanaminya, perlulah ia menyemai bibit tanaman apa yang akan ditanamnya.
Bila tiba waktunya menanam, haruslah bibit ditanam. Apalagi kalau sudah cocok cuaca untuk menamam, pada musim hujan, misalnya. Sebab, tidak selalu juga hari turun hujan.
Oleh sebab itu, tiga hari terakhir seusai jam kantor, aku bertahan menanam bibit-bibit cabe rawit itu. Besok entah ada pekerjaan dan kesibukan mendadak apa lagi, entahlah.
Kenyataan itu hanya pembuka untuk merenungi kehidupan petani kecil, tapi hebat, yang dalam bahasa Karo disebut "si ku juma ku rumah."Â Mereka yang hanya tahu bekerja ke ladang, lalu pulang ke rumah, setiap hari sepanjang tahun.
Di antara hari-hari itu, sebelum ada hasil panen untuk dijual ke pasar, mereka pun tetap membutuhkan biaya hidup, belanja kebutuhan dapur, biaya sekolah anak-anak.
Petani bertani sambil "berjudi" menunggu hasil bumi, hingga waktunya panen tiba. Tampak giat bekerja, tapi bukan tak mungkin juga karena terpaksa.
Terpaksa karena tuntutan ekonomi. Sebagian lagi terpaksa karena tuntutan fase-fase pada siklus hidup tanaman yang tidak bisa dia tunda.