"Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri. Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah."
(1 Korintus 3:6-9)
Petani adalah pekerjaan yang hebat. Tidak semua orang yang tinggal di desa mampu berhasil menjadi petani sukses.
Tulisan ini bukan tutorial menjadi petani sukses. Hanya catatan kecil seorang ASN yang belum mampu menjadi petani hebat.
Hari menjelang senja. Suara tonggeret bersahutan menandakan malam akan segera tiba.
Aku bergegas merapikan ember-ember tempat bibit cabe rawit yang baru usai kami tanami. Butuh tiga hari menuntaskan proses menanam itu, tak sampai dua ribu batang bibit cabe.
Lahannya pun bukan pula luas hingga patut disebut ladang. Hanya tapak rumah yang masih kosong karena belum dibangun pemiliknya.
Mungkin beginilah yang dimaksud oleh orang-orang tua kami sebagai "si mulih karaben." Orang-orang yang pulang petang dari ladang.
Mereka orang-orang tua yang bekerja demi makan. Makan agar bisa hidup, dan hidup untuk membesarkan anak-anak.
Di ladang, orang tua berkubang ria dan berlumuran lumpur, untuk anak-anak. Mereka pun memahaminya begitu setelah menjadi orang tua.
Ternyata, bukannya mereka tidak mengerti bahwa hari Sabat itu untuk ibadat bagi orang yang percaya, dan hari untuk menyenangkan diri lewat liburan bagi yang menjalankannya. Ternyata petani di desa bukannya tak mengerti arti libur.
Lahan-lahan kosong semakin sempit terhimpit permukiman penduduk. Rumah besar, kecil, mentereng, kumuh tumbuh menjadi-jadi. Kalau tanah kosong dibiarkan terbengkalai lama bisa jadi akan digeser batas-batasnya.
Sebagiannya bisa jadi memilih bertani sebagai sekadar hobi, olah raga ringan, cari keringat katanya. Bagi golongan ini, kerja utamanya entah ke kantor misalnya, ditambah lagi berbagai kegiatan sosialnya, membuatnya menjadikan pertanian sebagai kegiatan sambilan. Tidak setiap waktu senggang atau liburan bisa dipakai berleha-leha, hari libur berarti waktu sambil-sambilan untuk bertani.
Kalau lahan tidak ditanami, orang lain yang akan menguasainya. Kalau mau menanaminya, perlulah ia menyemai bibit tanaman apa yang akan ditanamnya.
Bila tiba waktunya menanam, haruslah bibit ditanam. Apalagi kalau sudah cocok cuaca untuk menamam, pada musim hujan, misalnya. Sebab, tidak selalu juga hari turun hujan.
Oleh sebab itu, tiga hari terakhir seusai jam kantor, aku bertahan menanam bibit-bibit cabe rawit itu. Besok entah ada pekerjaan dan kesibukan mendadak apa lagi, entahlah.
Kenyataan itu hanya pembuka untuk merenungi kehidupan petani kecil, tapi hebat, yang dalam bahasa Karo disebut "si ku juma ku rumah."Â Mereka yang hanya tahu bekerja ke ladang, lalu pulang ke rumah, setiap hari sepanjang tahun.
Di antara hari-hari itu, sebelum ada hasil panen untuk dijual ke pasar, mereka pun tetap membutuhkan biaya hidup, belanja kebutuhan dapur, biaya sekolah anak-anak.
Petani bertani sambil "berjudi" menunggu hasil bumi, hingga waktunya panen tiba. Tampak giat bekerja, tapi bukan tak mungkin juga karena terpaksa.
Terpaksa karena tuntutan ekonomi. Sebagian lagi terpaksa karena tuntutan fase-fase pada siklus hidup tanaman yang tidak bisa dia tunda.
Harus menyiapkan bibit, bibit harus ditanam bila tiba masanya, harus segera menanam karena musim hujan tiba, dan sebagainya.
Bertani adalah pekerjaan yang bermodalkan doa dan harapan yang sebenar-benarnya. Segala modal dan sumber daya dibiarkan terhampar di atas tanah, terkadang di bawah permukaan, dengan beratapkan langit, dan ditinggal pergi di tengah kelamnya malam.
Patutlah Paulus menyatakan, bahwa bukan dia yang menanam, atau Apolos yang menyiram yang penting dalam kenyataan ini. Melainkan Sumber Kehidupan yang memberi tanaman itu pertumbuhan.
Batang-batang jagung yang tumbuh kepayahan pada lahan kosong di antara himpitan permukiman daerah urban itu menjadi bukti tambahan bahwa tidak semua hal dalam hidup kita berjalan sesuai rencana di bawah kendali kita.
Ungkapan Jawa yang katanya "mikul dhuwur, mendhem jero,"Â bisa diartikan, mengangkat tinggi dan mengubur dalam. Mirip dengan istilah "lembang dan puncak gelombang" dalam buku "The Screwtape Letter."
Sebuah ironi untuk menampilkan kemuraman yang lucu dalam nasihat-nasihat paman Screwtape kepada keponakannya Wormwood melalui surat-suratnya yang sedang menuntut ilmu di kampus pelatihan para penggoda untuk para iblis muda.Â
Manusia adalah sekaligus makhluk roh dan binatang. Sebagai makhluk roh dia kekal, tapi sebagai binatang dia hidup dalam waktu.
Hidup dalam waktu berarti manusia berubah. Semakin tua akhirnya tiada, karena hidup dimakan waktu.
Iblis, dalam sudut pandang Screwtape sebagai penutur cerita, menuai kesempatan "memenangkan" manusia untuk dirinya dalam istilah fase yang dia sebut "lembang gelombang."
Lembang gelombang maksudnya titik terendah dari sebuah fase lekuk gelombang naik turun. Itu adalag fase titik terendah semangat manusia.
Kata paman Screwtape secara ironis, Tuhan justru senang mendapatkan manusia akan semakin mengingat-Nya pada saat ia berada di titik terendah semangat hidupnya.
Iblis menipu, sehingga manusia pada saat seperti itu merasa menjadi semakin pasrah pada Tuhan. Padahal tanpa disadarinya dia menyerah pada keputusasaan.
Karena itu yang terpenting adalah Dia yang memberi pertumbuhan, bukan yang menanam atau yang menyiram. Dari Dia jualah sumber kekuatan agar manusia tidak tergelincir saat menjalani lembang dan puncak gelombang.
Sebab saat berada di puncak, manusia mudah sekali merasa dekat dengan Tuhan, dan Tuhan penuh kemurahan. Namun, saat berada di titik nadir manusia juga mudah merasa bahwa ia ditinggalkan.
Manusia merasa dia berpasrah diri dalam kebijaksanaannya, padahal ia bersandar pada logikanya yang samar-samar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H