Dalam sebuah kesempatan diskusi pada acara penelaahan Alkitab bagi para anggota keluarga di sebuah jemaat gereja, terlontar sebuah pokok persoalan. Sumber soal ini datang dari anggota jemaat dengan latar belakang Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Kami ingin bertanya, Pendeta,"Â kata salah seorang di antaranya.
Anggota jemaat itu didominasi kalangan ASN. Bisa dibilang termasuk jemaat dari kalangan berpendidikan. Â
"Ya, silakan," jawab sang pendeta singkat. Ia merasakan gelagat akan mendapatkan pertanyaan jebakan dari orang-orang terdidik.
"Apa yang harus kami lakukan sebagai warga jemaat yang kebetulan berprofesi sebagai ASN, sementara tuntutan lingkungan kerja membuat kami sering kali harus mengesampingkan firman Tuhan?"
"Sementara, kami ingin pula karir meningkat. Salahkah bila kami mengikuti tuntutan lingkungan kerja kami itu?" Perwakilan jemaat yang kebetulan ASN itu memperjelas pokok persoalannya.
"Yah, menurutku tidak salah ketika kalian membeli jabatan. Tapi kalau soal berdosa, aku rasa hanya Tuhan yang layak menilainya," jawab sang pendeta langsung ke sasaran dengan bahasa terbuka.
Sebagai orang terdidik dan beragama, tentulah mereka telah menebak kemungkinan jawaban yang akan didapatkannya dari sang pendeta. Namun, jawaban itu di luar dugaan mereka, diucapkan di sebuah kegiatan rohani pula. Â Mereka tidak puas.
"Mengapa pula itu tidak salah, Pendeta?" tanya si ASN itu.
"Bayangkan saja. Tuntutan lingkungan kerja mensyaratkan kalian harus membeli jabatan. Sementara kalian, bersedia membeli jabatan agar bisa memperbaiki keadaan. Bukankah untuk memperbaiki keadaan menjadi lebih baik, sehingga kalian bersedia membayar untuk menduduki sebuah jabatan?" suasana hening.
"Bila begitu halnya, bukankah kalian yang paling patut didukung dan didoakan atas segala pengorbanan kalian?"Â lanjut sang pendeta. Suasana semakin hening.
Apa hubungan contoh suasana dilematis yang dirasakan para ASN di atas dengan catatan dan harapan publik pada usia 20 Tahun Mahkamah Konstitusi?
Entah apakah kita pernah melihat, mendengar, atau mengalami sendiri, tapi kita bisa merasa-rasakan di dalam kehidupan, bagaimana tidak kurang banyak orang yang mengetahui dan mampu membedakan apa yang baik dan apa yang jahat. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit yang lebih memilih untuk melakukan apa yang jahat atau setidaknya membiarkan kejahatan berlangsung baik secara tersamar maupun terang-terangan.
Ada kesenjangan antara pemahaman atau pengetahuan dengan kenyataan dalam hal ini. Orang dengan jelas mengetahui apa akibat dan sanksi dari sebuah perbuatan melawan hukum, tapi pada kenyataannya ia tetap lebih memilih untuk menjadi seolah tidak tahu dan melanggarnya.
Dalam konteks hukum disebutlah kenyataan seperti itu sebagai formalisme hukum. Melanggar hukum padahal sudah paham hukumnya, tapi bersikap seolah tidak tahu.
Kita akan mencermati peran Mahkamah Konstitusi untuk Indonesia dalam konteks manajemen ASN, melalui perkara uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.Â
Uji materi undang-undang ASN ini diajukan oleh beberapa orang ASN terkait dengan Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Barangkali tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan yang paling umum diketahui secara luas oleh publik adalah tindak pidana korupsi.
Kesenjangan hukum dalam pemahaman dan praktik yang menimpa sebagian ASN yang di-PTDH-kan akibat tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan menyebabkan sebagian ASN terjebak dalam sebuah sistem yang korup. Sistem yang korup menyebabkan gejala formalisme hukum di kalangan ASN.
Setidaknya ada 4 (empat) pengajuan perkara uji materi untuk masalah ini yang disampaikan, disidangkan, dan diputuskan perkaranya dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yakni:
- Nomor 87/PUU-XVI/2018 pada Kamis, 11 April 2019, yang memutuskan menerima sebagian permohonan para pemohon terkait frasa "pidana umum" pada Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, dihapus dari ketentuan terkait Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, tapi menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Nomor 88/PUU-XVI/2018 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
- Nomor 91/PUU-XVI/2018 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan para pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945; dan
- Nomor 15/PUU-XVII/2019 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Membaca analisis hukum Pasal 87 UU ASN yang digunakan oleh mahkamah sebagai pertimbangan hukum dalam mengadili dan memutuskan perkara itu, mahkamah menjelaskan bahwa adalah wajar dan beralasan menurut hukum jika PNS yang dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana diberhentikan tidak dengan hormat.
Sebab, ASN seharusnya memberi teladan bukan hanya etik tetapi juga secara hukum. Namun, dalam hal ini pembentuk undang-undang telah dengan bijak menentukan batasannya yaitu bahwa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu tidak seluruhnya dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan tidak dengan hormat seorang PNS melainkan hanya tindak pidana yang dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan tindak pidana yang dilakukan dengan berencana.
Dengan kata lain, pembentuk undang-undang telah secara proporsional mempertimbangkan alasan-alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan seorang PNS tidak dengan hormat.
Mahkamah juga memandang bahwa seorang PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau tindak pidana umum, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN adalah hal yang wajar. Sebab dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai ASN.
Sebab, seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian sesungguhnya, secara langsung atau tidak langsung, telah mengkhianati rakyat karena perbuatan demikian telah menghambat upaya mewujudkan cita-cita atau tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, ataupun tugas pembangunan tertentu.
Amar putusan mahkamah yang disampaikan pada sidang pleno hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada Kamis, 25 April 2019 itu akan turut membawa kita kepada sebuah risalah sidang atas perkara di atas, yang berlangsung pada Selasa, 12 Februari 2019. Agenda persidangan pada saat itu adalah mendengarkan keterangan ahli presiden, Dr. Tri Hayati, S.H., M.H.
Ia menambahkan bahwa salah satu prinsip bagi profesi ASN yaitu adanya komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik, serta profesionalitas jabatan. Dari seorang ASN dituntut komitmen dan integritas moral yang begitu tinggi, serta tanggung jawab terhadap pekerjaanya, karena kepada ASN itu telah diberikan kepercayaan penuh.
Tidak sembarang ASN dapat memperoleh kepercayaan dalam jabatan, karena itu dituntut terciptanya pegawai ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.Â
Dengan demikian, menjadi sangatlah berat sanksinya bila seorang ASN yang memiliki jabatan dan tanggung jawab yang demikian besar bila melakukan suatu penyimpangan hukum.
Dr. Tri Hayati memberikan analisis bahwa tujuan dari pengaturan sanksi bagi ASN yang melakukan pelanggaran hukum agar setiap ASN benar-benar dapat menjalankan kredibilitas dan profesionalitas yang diembannya serta menjaga nama baik jabatan yang dipercayakan kepadanya.Â
Menurutnya, pengaturan sanksi tegas berupa pemberhentian tidak dengan hormat ini, justru memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi segenap ASN yang menjalankan tugasnya sesuai dengan regulasi yang ada dan juga menjamin perlakuan dan kesempatan yang sama bagi segenap ASN untuk mematuhi regulasi yang ada. Katanya, inilah aspek keadilan dari pengaturan norma Undang-Undang ASN.
Mengapa sanksi atas tindak pidana yang berhubungan dengan jabatan menjadi diperberat? Jawabannya, karena jabatan itu adalah amanah dari negara dan ASN yang diberi jabatan tentu adalah ASN yang terpilih, yang terbaik, sehingga ia diberi kepercayaan mengemban jabatan tersebut. Oleh sebab itu, ia harus menjadi teladan dengan menunjukan perilaku dan martabat yang lebih baik dari ASN lainnya.
Ketentuan dalam UUD Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh mahkamah untuk menguji keabsahan UU ASN terhadap UUD dasar itu adalah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Selanjutnya, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Kemudian, Pasal Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Lalu, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Negara kita adalah negara hukum dengan mayoritas warga beragama. Selain berdoa, publik pun pasti tak kurang banyak menitipkan catatan dan harapan di momen 20 Tahun MK.
Bukan tanpa alasan mengapa hakim menjadi wakil Tuhan di dunia. Selamat ulang tahun, MK!
Masyarakat dapat mengakses putusan yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka yang diunggah pada laman resmi MK, www.mkri.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H