Dalam sebuah kesempatan diskusi pada acara penelaahan Alkitab bagi para anggota keluarga di sebuah jemaat gereja, terlontar sebuah pokok persoalan. Sumber soal ini datang dari anggota jemaat dengan latar belakang Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Kami ingin bertanya, Pendeta,"Â kata salah seorang di antaranya.
Anggota jemaat itu didominasi kalangan ASN. Bisa dibilang termasuk jemaat dari kalangan berpendidikan. Â
"Ya, silakan," jawab sang pendeta singkat. Ia merasakan gelagat akan mendapatkan pertanyaan jebakan dari orang-orang terdidik.
"Apa yang harus kami lakukan sebagai warga jemaat yang kebetulan berprofesi sebagai ASN, sementara tuntutan lingkungan kerja membuat kami sering kali harus mengesampingkan firman Tuhan?"
"Sementara, kami ingin pula karir meningkat. Salahkah bila kami mengikuti tuntutan lingkungan kerja kami itu?" Perwakilan jemaat yang kebetulan ASN itu memperjelas pokok persoalannya.
"Yah, menurutku tidak salah ketika kalian membeli jabatan. Tapi kalau soal berdosa, aku rasa hanya Tuhan yang layak menilainya," jawab sang pendeta langsung ke sasaran dengan bahasa terbuka.
Sebagai orang terdidik dan beragama, tentulah mereka telah menebak kemungkinan jawaban yang akan didapatkannya dari sang pendeta. Namun, jawaban itu di luar dugaan mereka, diucapkan di sebuah kegiatan rohani pula. Â Mereka tidak puas.
"Mengapa pula itu tidak salah, Pendeta?" tanya si ASN itu.
"Bayangkan saja. Tuntutan lingkungan kerja mensyaratkan kalian harus membeli jabatan. Sementara kalian, bersedia membeli jabatan agar bisa memperbaiki keadaan. Bukankah untuk memperbaiki keadaan menjadi lebih baik, sehingga kalian bersedia membayar untuk menduduki sebuah jabatan?" suasana hening.