"Bila begitu halnya, bukankah kalian yang paling patut didukung dan didoakan atas segala pengorbanan kalian?"Â lanjut sang pendeta. Suasana semakin hening.
Apa hubungan contoh suasana dilematis yang dirasakan para ASN di atas dengan catatan dan harapan publik pada usia 20 Tahun Mahkamah Konstitusi?
Entah apakah kita pernah melihat, mendengar, atau mengalami sendiri, tapi kita bisa merasa-rasakan di dalam kehidupan, bagaimana tidak kurang banyak orang yang mengetahui dan mampu membedakan apa yang baik dan apa yang jahat. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit yang lebih memilih untuk melakukan apa yang jahat atau setidaknya membiarkan kejahatan berlangsung baik secara tersamar maupun terang-terangan.
Ada kesenjangan antara pemahaman atau pengetahuan dengan kenyataan dalam hal ini. Orang dengan jelas mengetahui apa akibat dan sanksi dari sebuah perbuatan melawan hukum, tapi pada kenyataannya ia tetap lebih memilih untuk menjadi seolah tidak tahu dan melanggarnya.
Dalam konteks hukum disebutlah kenyataan seperti itu sebagai formalisme hukum. Melanggar hukum padahal sudah paham hukumnya, tapi bersikap seolah tidak tahu.
Kita akan mencermati peran Mahkamah Konstitusi untuk Indonesia dalam konteks manajemen ASN, melalui perkara uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.Â
Uji materi undang-undang ASN ini diajukan oleh beberapa orang ASN terkait dengan Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dipidana dengan pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
Barangkali tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan yang paling umum diketahui secara luas oleh publik adalah tindak pidana korupsi.
Kesenjangan hukum dalam pemahaman dan praktik yang menimpa sebagian ASN yang di-PTDH-kan akibat tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan menyebabkan sebagian ASN terjebak dalam sebuah sistem yang korup. Sistem yang korup menyebabkan gejala formalisme hukum di kalangan ASN.
Setidaknya ada 4 (empat) pengajuan perkara uji materi untuk masalah ini yang disampaikan, disidangkan, dan diputuskan perkaranya dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yakni:
- Nomor 87/PUU-XVI/2018 pada Kamis, 11 April 2019, yang memutuskan menerima sebagian permohonan para pemohon terkait frasa "pidana umum" pada Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, dihapus dari ketentuan terkait Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, tapi menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Nomor 88/PUU-XVI/2018 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
- Nomor 91/PUU-XVI/2018 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan para pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945; dan
- Nomor 15/PUU-XVII/2019 pada Senin, 22 April 2019, yang menyatakan menolak permohonan pemohon terkait uji materi Pasal 87 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Membaca analisis hukum Pasal 87 UU ASN yang digunakan oleh mahkamah sebagai pertimbangan hukum dalam mengadili dan memutuskan perkara itu, mahkamah menjelaskan bahwa adalah wajar dan beralasan menurut hukum jika PNS yang dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana diberhentikan tidak dengan hormat.