Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyinggahi Bangunan-bangunan Tua di Kota Kabanjahe

9 November 2022   18:02 Diperbarui: 9 November 2022   18:08 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyinggahi Bangunan-Bangunan Tua di Kota Kabanjahe (Dok. Pribadi)

Ada banyak bangunan tua yang tampak dan terasa sebagai jejak peninggalan era kolonial di kota Kabanjahe. Bangunan-bangunan tua bercorak kolonial itu ada yang terletak di tepi jalan, tersembunyi di antara pepohonan rindang, dan terhimpit di sudut lorong permukiman padat penduduk.

Bisa jadi tidak banyak warga kota ini yang menyadari pesona dan nilai sejarah di balik bangunan-bangunan tua itu. Sebagian karena bangunannya yang sudah ambruk dan punah dimakan usia, sebagiannya lagi kusam dan tidak terawat, atau sebagian lagi mungkin tidak disadari keberadaannya karena letaknya yang tersembunyi.

Menyinggahi bangunan-bangunan tua adalah sebuah cara untuk merefleksikan jejak kolonial yang pernah ada dan terasa di kota ini. Meskipun hanya sebuah bangunan dari era yang lama, tapi peninggalan masa lalu ini seharusnya dapat memberikan nilai yang berguna bagi warga kota, baik untuk kehidupan pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.

Mengapa banyak bangunan tua di Kabanjahe? Berikut ini adalah beberapa alasannya.

1. Kabanjahe pernah Menjadi Ibu Kota Keresidenan Sumatera Timur

Disarikan dari berbagai sumber, tercatat bahwa ibu kota keresidenan Sumatera Timur sebelum Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947) yang berkedudukan di kota Medan dipindahkan ke Tebing Tinggi. Selanjutnya, setelah Belanda juga menduduki kota Tebing tinggi, maka residen Sumatera Timur dan stafnya sempat pindah dan berkantor di Kabanjahe hingga kemudian pindah lagi ke Tiga Binanga.

Tiga Binanga adalah sebuah kota kecil yang jaraknya 35 km dari Kabanjahe. Kini merupakan ibu kota sebuah kecamatan di Kabupaten Karo.

Sesuai dengan keputusan Komite Nasional Indonesia Provinsi Sumatera Utara tanggal 18 April 1946, diputuskan bahwa Tanah Karo terdiri dari tiga kewedanan dan tiap kewedanan terdiri dari lima kecamatan.

Kewedanan itu adalah kewedanan Karo Tinggi berkedudukan di Kabanjahe dengan wedanannya Netap Bukit, kewedanan Karo Hilir berkedudukan di Tiga Binanga dengan wedanannya Tama Sebayang dan kewedanan Karo Jahe berkedudukan di Pancur Batu, dengan wedanannya Keras Surbakti.

Pasca revolusi pada 1946, Tanah Karo menjadi sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Ketika Belanda melaksanakan agresi militernya yang pertama pada tahun 1947, para pemimpin Republik Indonesia terpaksa melarikan diri.

Residen Sumatera Timur pada masa itu, Mr. Abubakar Jaar melarikan diri ke Kabanjahe lalu ke Tiga Binanga. Di bawah Negara Sumatera Timur (NST) yang merupakan bentukan Belanda, Tanah Karo dijadikan salah satu afdeling yang beribu kota di Kabanjahe. Setelah Penyerahan kedaulatan, Tanah Karo menjadi Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara hingga saat ini.

Sebagai salah satu pusat pemerintahan pada era kolonial di kawasan Sumatera Timur, tentu tidak sulit membayangkan mengapa di Kabanjahe banyak dijumpai bangunan-bangunan tua yang bergaya kolonial. Seperti misalnya rumah bercorak kolonial yang berlokasi di Jl. Jamin Ginting Gg. Kelinci II, Kelurahan Gung Negeri Kabanjahe berikut ini.

Sebuah bangunan tua bercorak kolonial di Kabanjahe (Dok. Pribadi)
Sebuah bangunan tua bercorak kolonial di Kabanjahe (Dok. Pribadi)

Sebuah bangunan tua bercorak kolonial di Kabanjahe (Dok. Pribadi)
Sebuah bangunan tua bercorak kolonial di Kabanjahe (Dok. Pribadi)

Menurut ibu pemilik rumah, bangunan ini sudah berusia sekitar 70 tahun. Artinya bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu ini dibangun pada sekitar tahun 1952, tapi masih terawat dan berfungsi hingga kini.

Ada lagi sebuah rumah bercorak kolonial yang berlokasi di belakang bangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Kabanjahe Kota. Rumah tua ini difungsikan sebagai rumah dinas pendeta majelis GBKP Kabanjahe Kota.

Bangunan tua bercorak kolonial di belakang GBKP Kabanjahe Kota (dok. Pribadi)
Bangunan tua bercorak kolonial di belakang GBKP Kabanjahe Kota (dok. Pribadi)

Bangunan tua bercorak kolonial di belakang GBKP Kabanjahe Kota (dok. Pribadi)
Bangunan tua bercorak kolonial di belakang GBKP Kabanjahe Kota (dok. Pribadi)

Dan masih ada cukup banyak rumah tua yang bercorak kolonial di sepanjang ruas Jl. Nabung Surbakti, Kabanjahe. Kebanyakan sepertinya difungsikan sebagai rumah tempat tinggal dan masih terawat. Nabung Surbakti sendiri merupakan nama pahlawan pemuda Karo yang berjuang melawan penjajah pada masa perang kemerdekaan yang namanya diabadikan sebagai nama salah satu ruas jalan di Kota Kabanjahe.

Rumah tua bercorak kolonial di Jl. Nabung Surbakti, Kabanjahe (Dok. Pribadi)
Rumah tua bercorak kolonial di Jl. Nabung Surbakti, Kabanjahe (Dok. Pribadi)

Rumah tua bercorak kolonial di Jl. Nabung Surbakti, Kabanjahe (Dok. Pribadi)
Rumah tua bercorak kolonial di Jl. Nabung Surbakti, Kabanjahe (Dok. Pribadi)

Selanjutnya, ada juga rumah yang tampak menyerupai bangsal atau komplek permukiman di ruas Jl. Sudirman, Kabanjahe.

Bangunan tua bercorak kolonial di Jl. Sudirman, Kabanjahe (Dok. Pribadi)
Bangunan tua bercorak kolonial di Jl. Sudirman, Kabanjahe (Dok. Pribadi)

Bangunan tua bercorak kolonial di Jl. Sudirman, Kabanjahe (Dok. Pribadi)
Bangunan tua bercorak kolonial di Jl. Sudirman, Kabanjahe (Dok. Pribadi)

2. Iklim Kabanjahe yang Ideal Menarik Minat Orang Eropa

Iklim Kabanjahe yang ideal, tidak terlalu sejuk seperti kondisi di Berastagi dan juga tidak pernah terlalu panas menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang Eropa pada masa kolonial. Oleh sebab itu, tidak mengherankan mengapa di kota ini ada dibangun gedung sanatorium dan rumah sakit pada masa zending. Rumah sakit itu masih dioperasikan hingga saat ini sebagai rumah sakit umum daerah Kabupaten Karo, sementara itu gedung sanatorium tidak lagi beroperasi.

Ada satu bangunan yang tampak bercorak kolonial dan masih berdiri kokoh di sekitar lokasi Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Bangunan yang menurut keterangan salah seorang penjaga ini dibangun pada sekitar tahun 1938, saat ini digunakan sebagai rumah dinas direktur rumah sakit.

Bangunan tua bercorak kolonial di sekitar lokasi Rumah Sakit Umum Kabanjahe (Dok. Pribadi)
Bangunan tua bercorak kolonial di sekitar lokasi Rumah Sakit Umum Kabanjahe (Dok. Pribadi)

Selanjutnya, dengan tersedianya jalan yang mengubungkan Kabanjahe dan Medan sejak tahun 1909, kota Kabanjahe dan Berastagi berkembang menjadi kawasan pertanian dan budidaya sayur-mayur yang memasok kebutuhan masyarakat kota Medan dan untuk diekspor ke luar negeri.

Sejak saat itu semakin meningkat pula ketertarikan orang-orang Eropa terhadap keindahan dan kesejukan alam Kabanjahe dan Berastagi. Maka tidak mengherankan jika Kabanjahe dijadikan sebagai tempat peristirahatan dan pusat aktivitas pemerintahan oleh orang-orang Belanda sejak awal abad ke-20.

Baca juga: Menemukenali Serpihan Sejarah Bangunan Tua Kota Berastagi

3. Kabanjahe Pernah Menjadi Kota Pertama yang Memiliki Sekolah Internasional  

Kota Kabanjahe juga pernah menjadi kota yang memiliki sekolah internasional berasrama (international boarding school). Mungkin ini sekolah internasional pertama di Indonesia.

Sekolah yang bernama Highlands School Kabanjahe itu didirikan pada tahun 1925 oleh pasangan suami istri berkebangsaan Inggris bernama William Stanley Cookson dan Bernice. Dikutip dari berbagai sumber bahwa hingga 15 Juni 1939 jumlah siswa di sekolah internasional ini telah melampaui 100 orang, dengan kapasitas sekolah hingga 125 murid.

Sekolah internasional
Sekolah internasional "Highlands School Kabanjahe" (Sumber: karosiadi.com)

Bangunan sekolah internasional
Bangunan sekolah internasional "Highlands School Kabanjahe" (Sumber: karosiadi.com)

Siswa-siswi yang bersekolah di sini adalah anak-anak para pekerja asing (ekspatriat). Sebagian besar berasal dari keluarga Inggris yang tinggal di Sumatra dan Jawa, sebagian lagi dari Malaka, Bangkok, Rangoon, bahkan ada juga yang berasal dari Amerika hingga negara-negara Skandinavia, serta tentu saja anak-anak berkebangsaan Belanda.

Pada masanya Highlands School Kabanjahe ini sangat unik dan terkenal di seantero Hindia Belanda. Sekolah ini bahkan semakin dikenal di seluruh "Timur Jauh," di mana orangtua Inggris yang bekerja bisa mengirim anak-anak mereka ke pantai timur Sumatera untuk bersekolah, dan mereka dapat pulang kembali ke tempat orangtuanya bekerja 2 kali dalam setahun.

Itulah sebagian penjelasan mengapa di Kabanjahe sampai sekarang masih banyak ditemukan bangunan-bangunan tua dengan corak khas bangunan zaman kolonial, baik yang berbahan kayu maupun beton. Bahkan banyak di antaranya yang sudah rubuh dimakan usia karena kurang perawatan.

Sekadar menyadari pesona dan nilai sejarah di balik bangunan-bangunan tua itu saja, tentu tidaklah cukup untuk bisa melestarikannya. Bangunan bernilai sejarah dan dengan arsitektur indah yang masih ada hingga hari ini bisa saja akan menyusul bangunan-bangunan tua yang sudah duluan ambruk dan punah dimakan usia bila tidak dirawat secara memadai.

Apakah dengan menjadikannya sebagai bangunan cagar akan membuatnya mendapatkan perawatan yang lebih memadai? Hal itu tentu saja menjadi tugas pihak yang berwenang dan berkompeten terkait penataan kota dan permukiman untuk memikirkannya.

Sebagaimana penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, disebutkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Dasar legalitas kepemilikan tentu saja menjadi hal yang penting dan utama sebelum berpikir tentang penetapan, pemanfaatan, dan perlindungan bangunan cagar budaya. Bangunan-bangunan tua ini kiranya berguna, tidak saja bagi mereka yang memegang hak legal penguasaannya, tapi juga bagi setiap warga kota yang menaruh minat untuk penggalian nilai sejarah, peningkatan kesejahteraan melalui pariwisata, atau setidaknya untuk menanamkan rasa memiliki bagi warga kota saat mereka lebih mengenali sejarah kota tempat tinggalnya.

Mejuah-juah.

Referensi: 1, 2, 3

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun