Ketiga kampung ini sejak tahun 1920-an memang adalah kampung yang paling ramai penduduknya di Tanah Karo. Terutama setelah dibukanya jalan raya yang menghubungkan Medan-Kotacane (Aceh) melalui Kabanjahe, Kabanjahe-Pematang Siantar, Kabanjahe-Sidikalang, Kabanjahe-Kutabuluh, Kabanjahe-Juhar-Tiga Binanga, dan Kabanjahe-Munte.
Ada fakta menarik terkait dengan data statistik rumah adat Karo hingga masa penjajahan Jepang itu. Desa Batukarang adalah kampung asal salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Tanah Karo, bernama Kiras Bangun atau dijuluki gara mata (mata merah, bhs. Indonesia).
Sementara itu, konon desa Juhar adalah salah satu desa di Tanah Karo yang paling awal menerima kabar tentang kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga pesta ucapan syukur atas hasil panen atau dikenal juga dengan nama pesta kerja tahun di desa ini dirayakan setiap tanggal 17 Agustus. Sama dengan tanggal hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Fakta sejarah ini menarik bila dihubungkan dengan keberadaan rumah-rumah adat khususnya pada kedua desa di atas. Hal ini juga berkaitan dengan riwayat proses kepunahannya di berbagai tempat di Tanah Karo. Berikut ini penjelasannya.
Tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi pada tanggal 1 Agustus 1947. Sejak itu, mereka berusaha keras memperluas daerah kekuasaannya.
Setelah melalui belasan kali pertempuran di berbagai front dari bulan Agustus sampai November 1947, maka pasukan laskar pejuang kemerdekaan di Tanah Karo akhirnya menyusun strategi pertahanan baru lebih jauh ke belakang. Rakyat Tanah Karo, terutama di Karo Utara, mengungsi secara besar-besaran ke daerah yang lebih aman pada tanggal 25 November 1947.
Sesuai perintah pimpinan, rakyat Tanah Karo yang mengungsi itu melakukan strategi "bumi hangus" atas semua bangunan rumah dan kedai serta gedung-gedung lainnya agar tidak dapat dipergunakan oleh musuh. Strategi itu dilaksanakan pada keesokan harinya, 26 November 1947, dimulai dari pembumihangusan seluruh rumah adat dan rumah-rumah pribadi di kampung Batukarang, lalu diikuti oleh kampung-kampung lain sehingga rumah-rumah adat menjadi rata dengan tanah.
Bisa dibayangkan, hancurnya perasaan rakyat Tanah Karo yang mengungsi saat itu, ketika simbol kebesaran dan kebanggaannya yang bernilai tinggi dan dibangun bersama kerabat itu harus musnah seketika demi melawan penjajahan.
Ada sejumlah 53 kampung di seluruh Tanah Karo yang hangus dibakar demi perjuangan. Daftar nama-nama kampung yang dibumihanguskan pada masa perjuangan itu terdokumentasi dalam buku "Titi Bambu" yang ditulis oleh Letjen. Djamin Ginting. Ia juga merupakan salah satu pahlawan nasional dari Tanah Karo.