Mengapa demikian? Sebab manusia adalah makhluk cinta. Saya tidak tahu apakah ada istilah homo filo, yang merujuk kepada pengertian bahwa manusia adalah makhluk cinta.
Sebagaimana istilah homo socius, yang merujuk kepada pengertian bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Namun, kita sudah mengetahui makna dari ungkapan yang umum diucapkan, bahwa seorang manusia adalah buah cinta dari ibu dan bapaknya.
Untuk menghadapi pandemi berkepanjangan misalnya. Bila kita tidak bisa berbagi kecemasan bersama, maka cemaskan saja diri kita dan keluarga kita.
Setidaknya dengan kita dan keluarga kita yang tetap memakai masker saat ke luar rumah, tetap menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan tetap rajin mencuci tangan, akan mengurangi potensi kecemasan dalam skala yang lebih besar. Syukur-syukur bila itu menjadi kesadaran bersama.
Untuk pelestarian lingkungan misalnya. Bila kita tidak mampu melakukan penghijauan berskala besar, kita bisa menghijaukan pekarangan yang ada. Bila pekarangan pun takada, maka mungkin kita bisa menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah-sampah rumah tangga kita seenaknya.
Bila tidak harus bepergian, mengapa tidak untuk tinggal di kampung saja. Bila bekerja bisa dari rumah, mengapa harus ke luar kota.
Bila ada yang harus bepergian, meninggalkan kampung, bekerja di luar rumah atau bahkan ke luar kota, maka cinta adalah modal besar yang membuat mereka mampu bertahan menjalani kewajiban dan keharusan, sekaligus berharap selamat kembali pulang.
Tak zamannya lagi melanggar kewajiban demi gagah-gagahan. Tak kurang banyak kejadian di mana yang gagah menjadi yang terhilang. Jangan tambahi rasa sedih dan pedihnya kehilangan.
Lebih baik lagi, bila kesadaran diri sendiri dan keluarga-keluarga itu bisa tumbuh bersama hingga menjadi kesadaran masyarakat, kesadaran suatu daerah, bahkan bukan tidak mungkin dari daerah-daerah yang sadar bersama, akan menghasilkan kesadaran suatu bangsa dan negara. Paling baik menjadi kesadaran bersama dunia.
Terdengar klise, tapi nyatanya terjemahan perubahan dalam semangat dan rasa cinta sebagaimana pesan Santa Theresia tetap aktual bagi dunia, bagi bangsa dan negara, bagi masyarakat, bagi keluarga-keluarga, bahkan bagi ego pribadi manusia yang ternyata tidak mudah berubah apalagi diubah.
Ironis sekaligus paradoksal bukan? Padahal manusia tahu dengan akalnya bahwa tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.