Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lakukan Hal yang Kecil dengan Cinta yang Besar

11 Januari 2021   13:29 Diperbarui: 12 Januari 2021   05:47 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto sabana di Kacinambun Highland, Karo, SUMUT (Dokpri)

"Tidak semua orang bisa melakukan hal yang besar, tapi semua orang bisa melakukan hal yang kecil dengan cinta yang besar." (Santa Theresia si Bunga Kecil)


Hari ini hujan turun, tidak terlalu deras, tapi lebih dari sekadar gerimis. Sebentar-sebentar berhenti, sebentar-sebentar turun lagi. Mungkin ini musim pancaroba, tapi bisa juga bukan, sebab musim pun kini sulit dibaca.

Hari ini tepat hari kesebelas bulan Januari 2021. Tahun yang baru, baru saja dijalani. Namun, banyak kabar yang membuat hati sendu.

Mulai dari kabar tentang pandemi virus Corona yang belum mereda. Bahkan kecenderungannya tampak menunjukkan peningkatan di berbagai belahan dunia.

Sebut saja misalnya kabar tentang kapasitas rumah sakit yang hampir penuh untuk menampung penderita infeksi virus di Amerika, atau kabar tentang perbandingan di mana satu dari setiap tiga puluh orang di Inggris terinfeksi covid-19.

Kabar dari dalam negeri bahkan tidak hanya terbatas soal isu pandemi. Kisah tragis yang memilukan menerpa dunia penerbangan kita. Pesawat Sriwijaya Air SJ 182, penerbangan rute Jakarta-Pontianak jatuh di perairan sekitar kepulauan Seribu pada Sabtu (9/1/2021).

Selanjutnya, ada juga kabar tentang belasan nyawa manusia yang melayang karena tertimbun tanah longsor yang menerjang Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pada Sabtu (9/1/2021).

Kabar mencemaskan tentang pandemi, sekalipun sebenarnya dampak kecemasan adalah efek samping yang harus diminimalisir dalam menyiapkan diri beradaptasi di masa pandemi, kenyataannya fakta-fakta di lapangan memang sepatutnya membuat kita cemas.

Di saat berbagai varian mutasi virus dikabarkan telah ditemukan oleh para peneliti di berbagai negara, tampaknya kesiapan kita menghadapi gelombang serangan berikutnya yang tidak terduga bukannya diimbangi dengan perubahan pola pikir dan perilaku yang mencerminkan situasi yang mencemaskan itu.

Semoga saja, fakta berkebalikan antara apa yang patut dicemaskan dengan apa yang tampak sebagai tindakan yang membias dari upaya pencegahan, bukan sebagai akibat dari sikap abai dan lalai kita atas bahaya virus yang masih menjadi ancaman nyata ini.

Lihat saja, kedai-kedai mulai tampak ramai di mana-mana. Sadar atau tidak, orang-orang juga mulai berpesta. Bahkan berbagai ibadah juga tampak mulai dijalankan dengan tatap muka.

Memang benar, semua itu disebutkan dengan mematuhi protokol kesehatan. Namun, kita bisa jujur bertanya dan menjawab sendiri dalam hati kita.

Mungkinkah semua aturan protokol itu akan dijalankan sepenuhnya bila yang menjadi pengawas utamanya adalah diri kita sendiri, dengan segala harapan dan kecemasan yang saling berlomba menguasai hati, pikiran dan perasaan kita?

Rasa sungkan, takut dianggap berlebihan, keyakinan diri yang keterlaluan, pun kecemasan yang berlebihan, sering kali menjadi pemicu kita mengabaikan aturan itu. Tidak memakai masker, tidak menjaga jarak, tidak menghindari kerumunan, tidak rajin mencuci tangan, hanya sederet aturan perilaku yang dilanggar yang tampak tersamar atau bahkan yang dipertontonkan terang-terangan.

Apa yang bisa kita lakukan?

Tulisan sebagai lead di awal artikel ini, adalah sebuah pesan kecil dengan nilai dan manfaat yang besar (menurut saya pribadi) dan aktual di masa-masa penuh tantangan seperti saat ini. Banyak masalah dan tantangan tentu saja tidak lantas membuat kita pasrah, menyerah dan bersikap masa bodoh.

Ya, itu adalah pesan dari Theresia Martin yang telah menjadi seorang santa, bernama Santa Theresia si Bunga Kecil, atau Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Theresia Martin dilahirkan di kota Alencon, Perancis, pada tanggal 2 Januari 1873. Hanya sembilan tahun lamanya menjadi biarawati, ia meninggal pada 30 September 1897, akibat TBC ketika usianya masih duapuluh empat tahun.

Sebelum wafat, Theresia berjanji untuk tetap mencintai dan menolong sesama dari surga. Sebelum meninggal ia mengatakan, "Dari surga aku akan berbuat kebaikan bagi dunia."

Dalam hidupnya yang singkat dan sederhana, Theresia bukanlah seseorang yang hidupnya dihiasi dan dipenuhi hal-hal yang istimewa. Namun, satu yang menjadi keistimewaan dan rahasia dalam dirinya, tidak lain adalah cinta. Ia selalu berusaha untuk senantiasa lemah lembut dan sabar, walaupun hal itu bukan sesuatu yang selalu mudah.

Pesan Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus itu jelas bahwa kita tidak harus melakukan hal-hal yang besar untuk menunjukkan cinta kita. Cinta itu bisa kepada diri kita sendiri, kepada pasangan, orang tua, keluarga, lingkungan, bangsa dan negara, atau bahkan kepada dunia ini dan segala isinya.

Di saat seisi dunia tidak mungkin diubah dan berubah membaik tanpa adanya kesadaran global yang tampak melalui kesadaran negara-negara yang mau untuk berubah bersama, tanpa kesadaran bersama masyarakat untuk mengambil sikap positif bersama, maka apa yang bisa kita lakukan adalah melakukan hal-hal yang kecil dengan cinta kita yang besar itu.

Untuk bisa bersama bukan berarti kita semua harus sama, baik dalam pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan. Namun, sesuatu yang dilakukan dengan cinta, rasanya tidak akan melahirkan hal-hal yang merugikan kepentingan bersama.

Mengapa demikian? Sebab manusia adalah makhluk cinta. Saya tidak tahu apakah ada istilah homo filo, yang merujuk kepada pengertian bahwa manusia adalah makhluk cinta.

Sebagaimana istilah homo socius, yang merujuk kepada pengertian bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Namun, kita sudah mengetahui makna dari ungkapan yang umum diucapkan, bahwa seorang manusia adalah buah cinta dari ibu dan bapaknya.

Untuk menghadapi pandemi berkepanjangan misalnya. Bila kita tidak bisa berbagi kecemasan bersama, maka cemaskan saja diri kita dan keluarga kita.

Setidaknya dengan kita dan keluarga kita yang tetap memakai masker saat ke luar rumah, tetap menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan tetap rajin mencuci tangan, akan mengurangi potensi kecemasan dalam skala yang lebih besar. Syukur-syukur bila itu menjadi kesadaran bersama.

Untuk pelestarian lingkungan misalnya. Bila kita tidak mampu melakukan penghijauan berskala besar, kita bisa menghijaukan pekarangan yang ada. Bila pekarangan pun takada, maka mungkin kita bisa menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah-sampah rumah tangga kita seenaknya.

Bila tidak harus bepergian, mengapa tidak untuk tinggal di kampung saja. Bila bekerja bisa dari rumah, mengapa harus ke luar kota.

Bila ada yang harus bepergian, meninggalkan kampung, bekerja di luar rumah atau bahkan ke luar kota, maka cinta adalah modal besar yang membuat mereka mampu bertahan menjalani kewajiban dan keharusan, sekaligus berharap selamat kembali pulang.

Tak zamannya lagi melanggar kewajiban demi gagah-gagahan. Tak kurang banyak kejadian di mana yang gagah menjadi yang terhilang. Jangan tambahi rasa sedih dan pedihnya kehilangan.

Lebih baik lagi, bila kesadaran diri sendiri dan keluarga-keluarga itu bisa tumbuh bersama hingga menjadi kesadaran masyarakat, kesadaran suatu daerah, bahkan bukan tidak mungkin dari daerah-daerah yang sadar bersama, akan menghasilkan kesadaran suatu bangsa dan negara. Paling baik menjadi kesadaran bersama dunia.

Terdengar klise, tapi nyatanya terjemahan perubahan dalam semangat dan rasa cinta sebagaimana pesan Santa Theresia tetap aktual bagi dunia, bagi bangsa dan negara, bagi masyarakat, bagi keluarga-keluarga, bahkan bagi ego pribadi manusia yang ternyata tidak mudah berubah apalagi diubah.

Ironis sekaligus paradoksal bukan? Padahal manusia tahu dengan akalnya bahwa tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.

Bukankah dengan silogisme sederhana, dalam pemahaman terkait perubahan itu berarti ketakabadian manusia sebenarnya sangat berhubungan erat dengan resistensinya terhadap perubahan? Kalau salah, mohon dimaafkan. Ini masih suasana tahun baru.

Menutup tulisan ini, saya kembali menyajikan sebuah kutipan dari Romo Y.B. Mangunwijaya. Saya melihatnya saat mengantarkan anak sulung saya menyerahkan tugas-tugasnya ke sekolahnya, kata Romo itu, "Di mana hati diletakkan, di situlah proses belajar dan maju dimulai".

Tak mengapa, kita mulai saja dari hal-hal kecil, siapa tahu memang kita belum melakukan apa-apa. Mulai dari saat ini, dari diri kita sendiri. Kita mungkin tidak akan mendapatkan banyak dengan itu, tapi tak masalah, kita juga tidak akan kehilangan apa-apa dengan bersikap seperti itu.

Semoga hari-hari kita di tahun ini, tetap menjadi hari-hari yang penuh dengan rahmat dan kemurahan hati Tuhan. (TT)

Rujukan:

www.hidupkatolik.com/ "Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus"

Kompas.com/ "Kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air, Polisi Buat Posko DVI di RS Polri" 

Kompas.id/ "Longsor di Sumedang, 11 Tewas dan 8 Belum Ditemukan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun