Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

6 Hal yang Perlu Dimiliki untuk Bisa Hidup Bersama

30 September 2020   07:08 Diperbarui: 1 Oktober 2020   02:57 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hidup bersama dalam komunitas. (sumber: pixabay.com/geralt)

Dalam hidup kolektif, ada begitu banyak nilai yang dianut dan dipahami oleh setiap anggota komunitas. Salah satu nilai dan bersifat universal adalah bahwa untuk bisa hidup bersama dibutuhkan adanya rasa saling percaya.

Rasa saling percaya dalam hal ini, bukan dalam artian kepercayaan atas dasar "kebenaran" dan "pembenaran" absolut, dalam prinsip kolektivisme, yang memberangus sama sekali pengakuan atas hak-hak pibadi dengan alasan demi kepentingan umum.

Sudah pasti, bukan juga dalam artian individualistik yang liberal, sebab tidak mungkin ada rasa saling percaya dalam sebuah kumpulan orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri.

Kalau bukan itu, dan bukan ini, barangkali ulasan ini bisa juga dianggap sebagai sesuatu yang bukan-bukan, bukan? Mungkin saja. Tapi mari kita longok sejenak.

Lalu, apa yang perlu kita miliki untuk bisa hidup bersama dalam berkomunitas, yang membutuhkan rasa saling percaya? Berikut ini beberapa ulasannya.

1. Pentingnya Kebiasaan Kritis

Rasa saling percaya dalam hidup berkomunitas dapat dibentuk dalam sikap kritis dan kebiasaan memverifikasi segala pemberitaan, gejala dan fenomena yang kita terima, hingga tersimpul menjadi suatu fakta.

Saya tidak pernah bosan mengingatkan sebuah pesan kepada diri saya sendiri, oleh sebab suatu gejala yang juga tidak kunjung mereda, bahkan makin menggejala terutama setiap menjelang perhelatan suatu agenda politik, apa itu?

"Sangat riskannya pikiran kita disesatkan oleh orang-orang yang seharusnya ikut bertangung jawab membawa pencerahan, tetapi secara jahat justru terlihat memakai perannya untuk memaksakan pemikirannya menjadi sebuah kebenaran yang harus kita yakini adanya!"

Tidak jarang kita melihat berbagai media diisi oleh tokoh-tokoh, dari berbagai kalangan, baik elit politik, akademisi, praktisi, pengamat, bahkan ilmuwan dan peneliti yang seharusnya objektif secara metodologis.

Atau bahkan juga kaum agamawan yang seharusnya menjadi panduan religi, tidak sedikit yang menampilkan pendapat secara membabi buta, yang jauh dari akal sehat.

Mereka ini, seakan tanpa beban moral dan tanpa perhatian akan tanggung jawab etisnya, mengesampingkan bahaya yang bisa terjadi, di tengah kenyataan yang mungkin jelas sekali mereka sadari.

Bahwa sebagian besar masyarakat kita yang hidup dalam budaya patriarki, akan cenderung menelan mentah-mentah "kebenaran" dan "pembenaran" dari mereka itu semua, tanpa kemampuan dan kemauan untuk mengkritisi dan memverifikasi. Bukankah, kejahatan yang dilakukan secara sadar dan terancana adalah sejahat-jahatnya kejahatan?

Sumber : www.pexels.com
Sumber : www.pexels.com
Maka tidak heran, dalam situasi yang demikian halnya, kebencian dan rasa suka yang membabi buta akan menggiring kita menjadi masyarakat yang sekadar ikut-ikutan.

Hari ini kita mengelu-elukan sesuatu atau seseorang, tidak lama kemudian kita akan menjadi penganiaya yang kejam.

Sikap kritis dan verifikatif juga berguna untuk menahan laju proses pembusukan di masyarakat demi kebaikan hidup bersama.

Mungkin dari sanalah berasal cara berpikir yang mengatakan, "Usahakanlah kesejahteraan kota di mana kita berada, karena kesejahteraannya adalah kesejahteraan kita bersama".

2. Tempatkan Diri Kita pada Posisi Orang Lain, Jangan Mudah Menghakimi

Mungkin akan sangat mudah untuk kita melihat bahwa kelompok atau komunitas kita sendiri, apa pun itu, sebagai kelompok yang paling benar, paling penting, dan paling baik. Namun, setiap komunitas lainnya juga melihat diri mereka sendiri seperti itu.

Maka, akan menjadi suatu masalah, dalam kondisi di mana setiap pihak merasa diri sebagai yang terbaik, kita malah mudah sekali mengeluarkan suatu entitas dari suatu komunitas, dengan berbagai alasan.

Maksudnya, jangan menghakimi orang lain, karena kita semua manusia, yang berasal dari panci peleburan yang sama.

Apakah ada bedanya kalau kita mengenakan jas, kain sari, atau rok dari rumput, jika jauh di dalam diri, kita semua bisa menangis ketika terluka, tertawa ketika gembira, dan perut kita keroncongan ketika kita lapar?

Kita mungkin tidak menduga bahwa cara kita melihat diri sendiri merupakan indikasi dari perasaan kita terhadap komunitas.

3. Perlu Merasa Tertarik untuk Mendukung Komunitas 

Saat kita merasa tertarik, kita akan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dari sana, kita mungkin akan mulai mengambil peran, berhenti mengeluh dan bergabung dengan komunitas, serta mencoba segala sesuatu dari dalamnya.

Sesuatu yang tidak menarik bagi kita, sudah jelas bukan jenis komunitas yang cocok untuk kita ikut bergabung di dalamnya.

Hal yang sama, juga berlaku dalam contoh kasus ketika sebuah toko kecil bangkrut. Semua orang mengeluh dan menyayangkannya, namun orang-orang terus saja berbelanja di toko serba ada yang besar di kota.

Jika kita menginginkan sebuah komunitas, kita harus menjadi bagian komunitas itu dan mendukungnya, atau komunitas itu akan mandeg dan mati. Kita dapat menjadi anggota komunitas dengan hadir, mengambil bagian, dan mengamati apa yang terjadi.

4. Bersama Tidak Berarti Harus Menjadi Sama

Bergabung di sebuah komunitas juga tidak berarti kita harus sama, sebab masing-masing memiliki identitas yang spesifik dan batas-batas yang jelas.

Jika komunitas kita, dan ini mencakup seluruh negeri, melakukan hal-hal yang tidak kita setujui, maka hanya dengan menyuarakan perasaan kitalah kita dapat mengubah hal tersebut.

Dengan berbagai cara, kita harus terlibat agar kita dapat membuat perbedaan. Kita harus yakin, perbedaan yang kita buat adalah tentang menjalani hari-hari dengan menjadi orang terbaik.

5. Perlunya Berinteraksi

Menurut Bronislaw Malinowski, seorang Antropolog dan etnograf lapangan berkebangsaan Polandia (1884-1942), bahwa keyakinan masyarakat memiliki nilai biologis yang memajukan perilaku mental praktis.

Nampak dari adat istiadat, tradisi, ritual, seremoni dan praktek-praktek kehidupan dengan nilai keluaran yang terasa abstrak dan terkadang terasa tak masuk akal, sehingga pihak luar dengan konsepsi nilai hidup yang berbeda dengan pihak yang diamatinya menjadi bingung untuk memilih antara tertawa atau menangis melihat kenyataannya.

Namun demikian, konsepsi sistem masyarakat tersebut layak dipandang secara fungsional sebagai suatu tradisi sesuai konteksnya secara lengkap menurut batasan tertentu yang dilaksanakan bagi kepentingan para anggota komunitas tersebut.

Abstraksi kemungkinan akan menjadi zona ambang, di mana berbagai bidang pemikiran, bidang keilmuan atau bahkan keyakinan-keyakinan saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi dari berbagai perbedaan itulah yang membuat berbagai pertanyaan dan topik-topik menarik dapat muncul.

Kuncinya hanya satu, bila setiap pihak dapat memperluas cakrawalanya untuk dapat memberi tempat bagi munculnya pemikiran-pemikiran baru, sekalipun terkadang akan bertentangan dengan sesuatu yang pernah diyakininya.

Pertentangan dan ketegangan yang muncul sebagai suatu kondisi kritis yang mampu dikelola, justru akan memperkuat dan memperkaya keyakinan awalnya. Itu adalah modal besar bagi sebuah komunitas untuk menjadi lebih kuat.

Interaksi yang kuat dari berbagai hal, bisa melahirkan pertanyaan dan topik yang menarik untuk bisa semakin kritis menyikapi situasi, itu bahkan akan semakin menggeser hubungan kita dari sekadar hubungan struktural menjadi beralih ke hubungan berdasarkan makna.

6. Tampil Apa Adanya, Bukan Ada Apanya

Berikuti ini adalah sebuah analogi menjelaskan maksud pernyataan di atas, berdasarkan sebuah cuplikan kisah pada novel berjudul, "Rahasia Sang Ibu Negara", karangan Curtis Sittenfeld.

Ketika pada tahun 1977, Charlie Blackwell berniat mencalonkan diri menjadi kandidat Gubernur Wisconsin dari Partai Republik, Alice istrinya sebetulnya tidak terlalu mendukungnya karena ia sadar tidak suka dunia politik.

Dalam sikap liberal dan egalitariannya, Alice mungkin lebih cocok menjadi seorang Demokrat, berbeda pandangan dalam banyak hal dengan suaminya yang konservatif.

Setelah mengikuti seluruh rangkaian proses pencalonan sampai suaminya terpilih menjadi Gubernur, Alice mendapati sebuah ironi dalam politik, yang katanya:

"Saat masa-masa awal kami mau maju menjadi calon kandidat, kami melakukan segala hal agar kami dikenal dan mendapatkan dukungan mereka; menyelipkan brosur di pintu-pintu rumah dan mobil-mobil, mengunjungi acara-acara komunitas yang kami bahkan sama sekali tidak pernah menjadi anggotanya, tampil dalam acara-acara di radio dan televisi, dan sebagainya.

Kini, ketika kami sudah mendapatkan dukungan mereka, dan duduk di sini, kami menjadi berjarak dengan mereka. Kami menghindari menemui mereka yang ingin menyampaikan keinginan-keinginannya untuk kami lakukan. Kami beralasan bahwa kami juga sama dengan mereka, banyak pekerjaan dan menginginkan sedikit privasi dan kebebasan untuk diri kami sendiri.

Bahkan dalam menjalankan peran jabatan pun, kami seringkali lebih tampak sebagai penggalang dana, dan mereka-mereka yang mendukung kami mengharapkan peran kami untuk memenuhi keinginan-keinginan mereka."

Manusia memang aneh, mereka meninggalkan sesuatu dengan mudahnya setelah bersusah payah mengejarnya.

Selamat berkomunitas, tetap saling percaya, tapi juga perlu kritis, jangan mudah menghakimi, perlu merasa tertarik, tidak harus menjadi sama, perlu berinteraksi, dan tampil apa adanya.

Salam sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun