Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Memelihara Sisi Feminin Laki-laki seperti "Pad Man"

25 September 2019   00:40 Diperbarui: 27 September 2019   07:36 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

cinemaxxtheater.com
cinemaxxtheater.com
Kata sang dokter, dalam jangka panjang taruhannya adalah nyawa istrinya dan nyawa wanita-wanita yang pikirannya dibalut dengan kuat oleh tabu, mitos, keyakinan dan tradisi yang keliru.

Lagi, Itu adalah ciri realisme sosial umumnya masyarakat kecil ekonomi lemah, dengan pendidikan nyaris tak tamat sekolah dasar. Kemiskinan memang bisa dengan kejam menjungkirbalikkan logika.

Mungkin, karena wanita di desa yang miskin itu takut tidak akan kuat membeli pembalut hasil pabrikan, ditambah pemahaman yang lemah soal biologi dan fungsi-fungsi faal tubuhnya sendiri, Gayatri istri Lakshmi, sebagaimana juga wanita-wanita berpikiran kolot lainnya di desa itu, tak kurang ibu Lakshmi, kakak perempuannya, pun termasuk adik-adiknya yang terdidik karena sedang duduk di bangku sekolah, merasa bahwa "tamu bulanan" adalah hal yang berupa aib dan tabu untuk dibahas, apalagi oleh pria beristri seperti Lakshmi.

Tidak jelas, apakah kemiskinan yang mebuat manusia menjadi bodoh, atau kebodohan yang membuat manusia menjadi miskin.

Kata sang dokter, dulu pada sekitar tahun 1875-1876, tentara Perancis menggunakan bahan-bahan semacam pembalut wanita saat ini untuk menyelamatkan nyawa tentara perancis yang terluka pada perang dunia pertama. Maka, sudah semestinya, wanita-wanita di kampung itu lebih peduli dengan keselamatan jiwanya sendiri, dengan beralih dari kain buruk yang dicuci berulang kali itu ke pembalut yang lebih higienis.

Bila memang kemiskinan yang mengakibatkan Gayatri bertahan dengan tradisi yang berbahaya itu, maka Lakshmi tidak mau menyerah dan bertahan dalam kebodohan. Ia termotivasi untuk membuat dengan tangannya sendiri pembalut higienis untuk istrinya, Gayatri.

Pembalut yang dibelinya di toko seharga 55 Rupee per kemasannya, dirasa Gayatri terlalu mahal untuk dipakai 1 setiap hari selama 5 hari dalam sebulan, selama 12 bulan dalam setahun, di tengah kehidupan mereka yang miskin di kampung kumuh tepi utara sungai Narmada di Maheshwar.

Suatu kali di tepi sungai, di bawah pohon asoka, Lakshmi tersenyum sinis menyindir dirinya sendiri. Ia merasa dibodohi oleh kapitalis kaya pembuat produk pembalut wanita. "Kami dipaksa membayar 55 rupee hanya untuk 5 lembar pembalut tipis berisi kapas," gerutunya.

Maka, ia membeli sekantong kapas, yang sebetulnya hanya ia minta kepada penjual kapas di kampungnya yang bingung membuat harganya karena hanya sejumput kapas yang tidak menggerakkan neraca timbang, dan beberapa helai kain perban.

Di bawah pohon asoka itulah ia bungkus kapasnya dengan perban, sebanyak lima bungkus, kemudian kelima pembalut itu ia bungkus dengan daun, plus bunga asoka di atasnya sebagai hiasan, yang akan dia berikan kepada Gayatri, istrinya, sebagai kado tanda cintanya. Ia belum memiliki anak, buah pernikahannya.

Namun, usahanya tidak berjalan mulus. Istrinya, ibunya, saudara-saudara perempuannya, anak remaja baru puber tetangganya, bahkan siswi-siswi sekolah medis yang diharapkannya menjadi sukarelawan, tidak ada satupun yang rela menjadi pengguna produknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun