Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Memelihara Sisi Feminin Laki-laki seperti "Pad Man"

25 September 2019   00:40 Diperbarui: 27 September 2019   07:36 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akshay Kumar dan Sonam Kapoor dalam Pad Man. (MRS FUNNYBONES MOVIES)

Pad Man, sebuah film yang dirilis pada tahun 2018, terinspirasi oleh kisah nyata aktivis Padma Shri Arunachalam Muruganantham. Ia adalah aktivis yang mempunyai misi untuk menyediakan pembalut bagi kaum wanita tidak mampu di pedesaan.

Setelah gagal mendapatkan dukungan dari universitas kedokteran yang didekatinya, ia memutuskan untuk berusaha sendiri menciptakan tiruan organ kewanitaan yang terbuat dari bagian dalam bola sepak yang diisi darah kambing. Ia membawa alat ini ke mana-mana untuk menguji tingkat penyerapan dari pembalut yang ia ciptakan sendiri.

Pada bagian akhir film ini, terselip catatan dari tim Pad Man, yang menyatakan bahwa film ini didedikasikan kepada Padma Shri Arunachalam Muruganantham, The Real Pad Man. Film ini disutradarai oleh R. Balki, dan dibintangi oleh Akshay Kumar yang berperan sebagai Lakshmikant Chauhan, Sonam Kapoor sebagai Rhea atau Pari dan Radhika Apte sebagai Gayatri, serta special appearence dari Amitabh Bachchan.

Dengan latar di sebuah desa di Maheshwar, India. Dari 500 juta wanita India, hanya 12% yang menggunakan pembalut higienis. 

Sisanya mempertahankan pembalut seadanya pada masa menstruasi, bersandar kepada religiusitas dan budaya turun temurun, menggunakan semacam kain yang dipakai berulang-ulang, dan dicuci secara sembunyi-sembunyi, hingga dikeringkan tidak langsung di bawah sinar matahari.

Hal ini berisiko memicu munculnya berbagai penyakit reproduksi pada wanita di India. Bagi masyarakat tradisional di sana, wanita yang datang bulan adalah semacam kenajisan yang harus dijauhkan dan dihindari, kalau bisa di sembunyikan.

Oleh Lakshmi, keadaan selama 5 hari dalam sebulan itu, bila dikali dengan 12 bulan, sama dengan 60 hari atau 2 bulan. Ini adalah ketidakadilan terstruktur, massif dan sistemik diskriminatif bagi kaum perempuan. Hal itu bisa diartikan bahwa perempuan hanya memiliki 10 bulan efektif dalam setahun, sementara laki-laki memiliki sepenuhnya 12 bulan.

Lakshmi sehari-harinya bekerja sebagai tukang las besi. Pada suatu hari seorang rekan kerjanya terluka tangannya terkena mesin pemotong besi. Lakshmi yang memang seorang yang cekatan dan setia kawan, membebat luka itu dengan sebuah pembalut wanita. 

Meskipun ia dicela oleh kawan-kawan kerjanya karena menganggapnya melakukan sesuatu yang najis dan kotor, tapi Lakshmi tetap bersikukuh membebatnya dengan pembalut itu.

Hingga akhirnya temannya itu dibawa ke rumah sakit, dan dokter memuji tindakan Lakshmi yang memberikan pertolongan pertama dengan sesuatu yang higienis. 

Sepeninggal temannya yang duluan meninggalkan rumah sakit, Lakshmi menanyakan kepada dokter itu tentang risiko yang bisa muncul kepada Gayatri istrinya, maupun wanita-wanita lainnya di kampungnya, bila tetap bertahan dengan mitos yang salah tentang menstruasi dan menyembunyikannya dengan kain yang tidak higienis.

cinemaxxtheater.com
cinemaxxtheater.com
Kata sang dokter, dalam jangka panjang taruhannya adalah nyawa istrinya dan nyawa wanita-wanita yang pikirannya dibalut dengan kuat oleh tabu, mitos, keyakinan dan tradisi yang keliru.

Lagi, Itu adalah ciri realisme sosial umumnya masyarakat kecil ekonomi lemah, dengan pendidikan nyaris tak tamat sekolah dasar. Kemiskinan memang bisa dengan kejam menjungkirbalikkan logika.

Mungkin, karena wanita di desa yang miskin itu takut tidak akan kuat membeli pembalut hasil pabrikan, ditambah pemahaman yang lemah soal biologi dan fungsi-fungsi faal tubuhnya sendiri, Gayatri istri Lakshmi, sebagaimana juga wanita-wanita berpikiran kolot lainnya di desa itu, tak kurang ibu Lakshmi, kakak perempuannya, pun termasuk adik-adiknya yang terdidik karena sedang duduk di bangku sekolah, merasa bahwa "tamu bulanan" adalah hal yang berupa aib dan tabu untuk dibahas, apalagi oleh pria beristri seperti Lakshmi.

Tidak jelas, apakah kemiskinan yang mebuat manusia menjadi bodoh, atau kebodohan yang membuat manusia menjadi miskin.

Kata sang dokter, dulu pada sekitar tahun 1875-1876, tentara Perancis menggunakan bahan-bahan semacam pembalut wanita saat ini untuk menyelamatkan nyawa tentara perancis yang terluka pada perang dunia pertama. Maka, sudah semestinya, wanita-wanita di kampung itu lebih peduli dengan keselamatan jiwanya sendiri, dengan beralih dari kain buruk yang dicuci berulang kali itu ke pembalut yang lebih higienis.

Bila memang kemiskinan yang mengakibatkan Gayatri bertahan dengan tradisi yang berbahaya itu, maka Lakshmi tidak mau menyerah dan bertahan dalam kebodohan. Ia termotivasi untuk membuat dengan tangannya sendiri pembalut higienis untuk istrinya, Gayatri.

Pembalut yang dibelinya di toko seharga 55 Rupee per kemasannya, dirasa Gayatri terlalu mahal untuk dipakai 1 setiap hari selama 5 hari dalam sebulan, selama 12 bulan dalam setahun, di tengah kehidupan mereka yang miskin di kampung kumuh tepi utara sungai Narmada di Maheshwar.

Suatu kali di tepi sungai, di bawah pohon asoka, Lakshmi tersenyum sinis menyindir dirinya sendiri. Ia merasa dibodohi oleh kapitalis kaya pembuat produk pembalut wanita. "Kami dipaksa membayar 55 rupee hanya untuk 5 lembar pembalut tipis berisi kapas," gerutunya.

Maka, ia membeli sekantong kapas, yang sebetulnya hanya ia minta kepada penjual kapas di kampungnya yang bingung membuat harganya karena hanya sejumput kapas yang tidak menggerakkan neraca timbang, dan beberapa helai kain perban.

Di bawah pohon asoka itulah ia bungkus kapasnya dengan perban, sebanyak lima bungkus, kemudian kelima pembalut itu ia bungkus dengan daun, plus bunga asoka di atasnya sebagai hiasan, yang akan dia berikan kepada Gayatri, istrinya, sebagai kado tanda cintanya. Ia belum memiliki anak, buah pernikahannya.

Namun, usahanya tidak berjalan mulus. Istrinya, ibunya, saudara-saudara perempuannya, anak remaja baru puber tetangganya, bahkan siswi-siswi sekolah medis yang diharapkannya menjadi sukarelawan, tidak ada satupun yang rela menjadi pengguna produknya.

Alih-alih suka memakainya, Lakshmi bahkan dicap menjadi aib bagi keluarga, bahkan bagi desa tempat tinggalnya. Hingga kemudian istrinya dijemput paksa oleh ayah mertuanya.

Lakshmi sendiri pergi meninggalkan desanya, dan bertekad membalikkan rasa malu keluarga bahkan istrinya sendiri atas dirinya, menjadi rasa bangga. 

Ia berusaha mencari ilmu, tanpa bekal sekolah formal, hanya bermodal tekad baja demi kehormatan dirinya sendiri dan terutama sekali karena rasa tanggung jawabnya terhadap perubahan pola pikir, kesehatan dan keselamatan nyawa istrinya dan wanita-wanita lain di desanya.

Itu juga tidak mudah. Hingga akhirnya bermodal belajar di internet, dan hutang pinjaman dari teman-temannya, ia membuka laboratoriumnya sendiri. Bukan R&D atau Research and Development, tetapi T&F atau Try and Fail, itulah yang menjadi basis semangat penemuannya. Ia bukan anak sekolahan.

Pada suatu hari, ia mendapatkan pembeli pertamanya, nona Pari. Ia adalah seorang mahasiswi calon MBA, yang juga menyenangi kesenian. Suatu ketika, saat pertunjukannya dekat tempat tinggal Lakshmi, ia membutuhkan pembalut. Tak ada satupun apotek yang buka, kecuali bengkel Lakshmi. Maka, nona Pari menjadi sukarelawan pertamanya.

Pembalut yang dipakai oleh nona Pari pada malam itu, dihasilkan dari sebuah mesin pembuat pembalut ciptaan Lakshmi sendiri, sebuah mesin seharga hanya 90.000 Rupee, atau saat ini seharga 18.000.000 Rupiah dengan kurs 1 Rupee setara 200 Rupiah, yang dia peroleh dari hutang.

Selanjutnya, nona Pari yang ayahnya adalah seorang dosen, menominasikan Lakshmi dan penemuannya untuk mengikuti festival inovasi di New Delhi, yang bertajuk 4th National Sosial Innovation Award. 

Itu adalah sebuah festival yang diadakan sebagai wadah apresiasi bagi para inventor yang mengubah kehidupan sosial di India dan memotivasi semangat inovasi India. Lakshmi pun kembali harus meminjam 500 Rupee dari temannya untuk ongkos mengikuti festival itu.

Di hadapan para juri, Lakshmi mengaku dengan mesin sederhana itu, ia bisa memprodukai pembalut wanita yang higienis, hanya seharga 2 Rupee. Itu adalah harga yang mampu dijangkau oleh seluruh wanita miskin di India. 

Katanya, misinya bukan untuk uang, tapi bagaimana bisa mengembalikan waktu efektif 2 bulan yang terbuang dalam setahun bagi wanita miskin di India.

Kisah ini, menunjukkan sisi feminin Lakshmi, seorang laki-laki yang berjuang memikirkan hal-hal terbaik yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup wanita. Katanya, negara kuat bukan karena laki-lakinya kuat, melainkan karena ibu, saudara-saudara perempuan dan istri-istri yang kuat.

"Bisakah kita bayangkan bagaimana kuatnya seorang wanita yang tetap mampu bertahan hidup meskipun berdarah selama 5 hari dalam sebulan, dan 12 bulan selama setahun, sementara seorang laki-laki mungkin akan melayang nyawanya bila 30 menit saja ia mengalami pendarahan?" pungkas Lakshmi, saat ia diminta berbicara tentang misi perjuangannya melawan tabu demi kebaikan kaum wanita di kampung halamannya, India, pada sebuah kesempatan dia diundang berbicara di hadapan kaum wanita di markas PBB, Amerika.

Pad Man, dalam penerbangan Garuda Indonesia GA 0121 di ketinggian jelajah 33.000 kaki, tujuan Jakarta, 24/09/2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun